PENDAHULUAN
Surat berharga dapat juga dikatakan efek dalam istilah bahasa Inggris disebut security adalah merupakan suatu surat berharga yang bernilai serta dapat diperdagangkan. Efek dapat dikategorikan sebagai hutang dan ekuitas seperti obligasi dan saham. Perusahaan atapun lembaga yang menerbitkan efek disebut penerbit. Efek tesebut dapat terdiri dari surat pengakuan hutang, surat berharga komersial, saham, obligasi, unit penyertaan kontrak investasi kolektif (seperti misalnya reksadana, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek. Kualifikasi dari suatu efek adalah berbeda-beda sesuai dengan aturan di masing-masing negara. Efek dapat berupa sertifikat atau dapat berupa pencatatan elektronis yang bersifat :
• Sertifikat atas unjuk, artinya pemilik yang berhak atas efek tersebut adalah sipembawa/pemegang efek.
• Sertifikat atas nama artinya pemilik efek pemilik yang berhak atas efek tersebut adalah yang namanya tercatat pada daftar yang dipegang oleh penerbit atau biro pencatatan efek.
Bab 1, Pasal 1, Angka 5, UU RI No. 8 1995 tentang Pasar Modal, Efek adalah suatu surat berharga, yang dapat berupa surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, OBLIGASI, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas mengenai pengertian surat berharga, jenis-jenis surat berharga, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan surat berharga tersebut.
PEMBAHASAN
Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang (Dunil Z : 2004).
Surat berharga ada banyak macamnya, yaitu sebagai berikut;
1. SAHAM
Pengertian saham secara umum dan sederhana adalah surat berharga yang dapat dibeli atau dijual oleh perorangan atau lembaga di pasar tempat surat tersebut diperjualbelikan. Saham (stock) merupakan salah satu instrumen pasar keuangan yang paling popular. Menerbitkan saham merupakan salah satu pilihan perusahaan ketika memutuskan untuk pendanaan perusahaan. Pada sisi yang lain, saham merupakan instrument investasi yang banyak dipilih para investor karena saham mampu memberikan tingkat keuntungan yang menarik.
Saham juga dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan modal seseorang atau pihak (badan usaha) dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Dengan menyertakan modal tersebut, maka pihak tersebut memiliki klaim atas pendapatan perusahaan, klaim atas asset perusahaan, dan berhak hadir dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Saham terbagi atas saham biasa, saham preferen, dan pemilik saham Individu / Perorangan dan Organisasi / Perusahaan.
a. Saham Biasa
Saham Biasa adalah suatu sertifikat atau piagam yang memiliki fungsi sebagai bukti pemilikan suatu perusahaan dengan berbagai aspek-aspek penting bagi perusahaan. Pemilik saham akan mendapatkan hak untuk menerima sebagaian pendapatan tetap / dividen dari perusahaan serta kewajiban menanggung resiko kerugian yang diderita perusahaan.
Orang yang memiliki saham suatu perusahaan memiliki hak untuk ambil bagian dalam mengelola perusahaan sesuai dengan hak suara yang dimilikinya berdasarkan besar kecil saham yang dipunyai. Semakin banyak persentase saham yang dimiliki maka semakin besar hak suara yang dimiliki untuk mengontrol operasional perusahaan.
b. Saham Preferen
Saham preferen adalah saham yang pemiliknya akan memiliki hak lebih dibanding hak pemilik saham biasa. Pemegang saham preferen akan mendapat dividen lebih dulu dan juga memiliki hak suara lebih dibanding pemegang saham biasa seperti hak suara dalam pemilihan direksi sehingga jajaran manajemen akan berusahan sekuat tenaga untuk membayar ketepatan pembayaran dividen preferen agar tidak lengser.
C. Pemilik Saham Individu / Perorangan dan Organisasi / Perusahaan
Pemilik saham individu adalah orang perorangan non badan usaha yang menanamkan sejumlah uang ang dimilikinya ke pasar modal dengan ekspektasi mendapatkan laba keuntungan yang lebih tinggi daripada menabung di bank. Sedangkan pemilik saham organisasi, instansi atau perusahaan adalah badan usaha yang mengelola sebagian atau sekuluh modal yang dimilikinya untuk dikelola di pasar modal untuk mendapatkan keuntungan yang besar secara profesional.
Pada dasarnya, ada dua keuntungan yang diperoleh investor dengan membeli atau memiliki saham:
1. Dividen
Dividen merupakan pembagian keuntungan yang diberikan perusahaan dan berasal dari keuntungan yang dihasilkan perusahaan. Dividen diberikan setelah mendapat persetujuan dari pemegang saham dalam RUPS. Jika seorang pemodal ingin mendapatkan dividen, maka pemodal tersebut harus memegang saham tersebut dalam kurun waktu yang relatif lama yaitu hingga kepemilikan saham tersebut berada dalam periode dimana diakui sebagai pemegang saham yang berhak mendapatkan dividen. Dividen yang dibagikan perusahaan dapat berupa dividen tunai – artinya kepada setiap pemegang saham diberikan dividen berupa uang tunai dalam jumlah rupiah tertentu untuk setiap saham - atau dapat pula berupa dividen saham yang berarti kepada setiap pemegang saham diberikan dividen sejumlah saham sehingga jumlah saham yang dimiliki seorang pemodal akan bertambah dengan adanya pembagian dividen saham tersebut.
2. Capital Gain
Capital Gain merupakan selisih antara harga beli dan harga jual. Capital gain terbentuk dengan adanya aktivitas perdagangan saham di pasar sekunder. Misalnya Investor membeli saham ABC dengan harga per saham Rp 3.000 kemudian menjualnya dengan harga Rp 3.500 per saham yang berarti pemodal tersebut mendapatkan capital gain sebesar Rp 500 untuk setiap saham yang dijualnya.
Sebagai instrument investasi, saham memiliki risiko, antara lain:
1. Capital Loss
Merupakan kebalikan dari Capital Gain, yaitu suatu kondisi dimana investor menjual saham lebih rendah dari harga beli. Misalnya saham PT. XYZ yang di beli dengan harga Rp 2.000,- per saham, kemudian harga saham tersebut terus mengalami penurunan hingga mencapai Rp 1.400,- per saham.
Karena takut harga saham tersebut akan terus turun, investor menjual pada harga Rp 1.400,- tersebut sehingga mengalami kerugian sebesar Rp 600,- per saham.
2. Risiko Likuidasi.
Perusahaan yang sahamnya dimiliki, dinyatakan bangkrut oleh Pengadilan, atau perusahaan tersebut dibubarkan. Dalam hal ini hak klaim dari pemegang saham mendapat prioritas terakhir setelah seluruh kewajiban perusahaan dapat dilunasi (dari hasil penjualan kekayaan perusahaan). Jika masih terdapat sisa dari hasil penjualan kekayaan perusahaan tersebut, maka sisa tersebut dibagi secara proporsional kepada seluruh pemegang saham.
Namun jika tidak terdapat sisa kekayaan perusahaan, maka pemegang saham tidak akan memperoleh hasil dari likuidasi tersebut. Kondisi ini merupakan risiko yang terberat dari pemegang saham. Untuk itu seorang pemegang saham dituntut untuk secara terus menerus mengikuti perkembangan perusahaan.
Di pasar sekunder atau dalam aktivitas perdagangan saham sehari-hari, harga-harga saham mengalami fluktuasi baik berupa kenaikan maupun penurunan. Pembentukan harga saham terjadi karena adanya permintaan dan penawaran atas saham tersebut. Dengan kata lain harga saham terbentuk oleh supply dan demand atas saham tersebut. Supply dan demand tersebut terjadi karena adanya banyak faktor, baik yang sifatnya spesifik atas saham tersebut (kinerja perusahaan dan industri dimana perusahaan tersebut bergerak) maupun faktor yang sifatnya makro seperti tingkat suku bunga, inflasi, nilai tukar dan faktor-faktor non ekonomi seperti kondisi sosial dan politik, dan faktor lainnya.
2. OBLIGASI
Obligasi adalah surat berharga atau sertifikat yang berisi kontrak pengakuan utang atas pinjaman yang diterima oleh penerbit obligasi dari pemberi pinjaman (pemodal). Berinvestasi (membeli) Obligasi berarti meminjamkan uang. Menerbitkan Obligasi berarti berhutang uang.
Jenis obligasi dapat dilihat dari berbagai sisi, yaitu;
1. Dari sisi penerbit:
• Corporate bond, yaitu obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan;
• Government bond, yaitu obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat;
• Municipal bond, yaitu obligasi yang diterbitkan oleh Pemda.
2. Dari sistem pembayaran bunga :
• Zero coupon bond, yaitu obligasi yang tidak mewajibkan penerbitnya membayar coupon (bungan) kepada pemegangnya.
• Coupon bond (fixed coupun bond & Floating coupon bond), yaitu obligasi yang mewajibkan penerbit untuk membayar coupon (bunga) baik tetap (fixed coupon bond) maupun bungan mengambang (floating coupon bond)
3. Dari sisi hak penukaran/opsi :
• Convertible bond , yaitu obligasi yang dapat ditukar dengan saham penerbitnya (ditukar saham emiten)
• Exchangable bond , yaitu obligasi yang dapat ditukar dengan saham afiliasi milik penerbit/emiten
• Callable bond , yaitu obligasi yang memberi hak kepada penerbitnya untuk melakukan penarikan/pelunasan pada waktu tertentu(waktu penarikan biasanya sudah diatur dalam perjanjian waktu penerbitan obligasi)
• Putable bond , yaitu obligasi yang memberikan hak kepada pemilik/pemegang untuk menukarkan/meminta pelunasan kepada penerbit/emiten.
4. Dari sisi jaminan atau kolateralnya :
• Secure bond , yaitu obligasi yang dijamin pelunasannya dengan assets tertentu.
• Guaranteed bond , jika penjaminnya adalah pihak III
• Mortgage bond , jika dijamin dengan real properties (: gedung)
• Collateral trust bond, jika dijamin dengan surat berharga (sekuritas, receivables) Unsecured bond (Debentures), yaitu obligasi yang tidak dijamin oleh assets tertentu.
5. Dari segi nominalnya:
• Konvensional Bonds : obligasi yang lazim diperjualbelikan dalam satu nominal, Rp 1 miliar per satu lot.
• Retail Bonds : obligasi yang diperjual belikan dalam satuan nilai nominal yang kecil, baik corporate bonds maupun government bonds.
6. Dari segi perhitungan imbal hasil:
• Konvensional Bonds : obligasi yang diperhitungan dengan menggunakan sistem kupon bunga.
• Syariah Bonds : obligasi yang perhitungan imbal hasil dengan menggunakan perhitungan bagi hasil. Dalam perhitungan ini dikenal dua macam obligasi syariah, yaitu:
- Obligasi Syariah Mudharabah merupakan obligasi syariah yang menggunakan akad bagi hasil sedemikian sehingga pendapatan yang diperoleh investor atas obligasi tersebut diperoleh setelah mengetahui pendapatan emiten.
- Obligasi Syariah Ijarah merupakan obligasi syariah yang menggunakan akad sewa sedemikian sehingga kupon (fee ijarah) bersifat tetap, dan bisa diketahui/diperhitungkan sejak awal obligasi diterbitkan.
Karakteristik Obligasi :
Nilai Nominal (Face Value) adalah nilai pokok dari suatu obligasi yang akan diterima oleh pemegang obligasi pada saat obligasi tersebut jatuh tempo.
Kupon (the Interest Rate) adalah nilai bunga yang diterima pemegang obligasi secara berkala (kelaziman pembayaran kupon obligasi adalah setiap 3 atau 6 bulanan) Kupon obligasi dinyatakan dalam annual prosentase.
Jatuh Tempo (Maturity) adalah tanggal dimana pemegang obligasi akan mendapatkan pembayaran kembali pokok atau Nilai Nominal obligasi yang dimilikinya. Periode jatuh tempo obligasi bervariasi mulai dari 365 hari sampai dengan diatas 5 tahun. Obligasi yang akan jatuh tempo dalam waktu 1 tahun akan lebih mudah untuk di prediksi, sehingga memilki resiko yang lebih kecil dibandingkan dengan obligasi yang memiliki periode jatuh tempo dalam waktu 5 tahun. Secara umum, semakin panjang jatuh tempo suatu obligasi, semakin tinggi Kupon / bunga nya.
Penerbit / Emiten (Issuer) Mengetahui dan mengenal penerbit obligasi merupakan faktor sangat penting dalam melakukan investasi Obligasi Ritel. Mengukur resiko / kemungkinan dari penerbit obigasi tidak dapat melakukan pembayaran kupon dan atau pokok obligasi tepat waktu (disebut default risk) dapat dilihat dari peringkat (rating) obligasi yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat seperti PEFINDO atau Kasnic Indonesia.
Harga obligasi adalah suatu harga apabila kita ingin membeli atau menjual obligasi di pasar modal baik melalui transaksi bursa maupun OTC. Beberapa hal yang mempengaruhi harga obligasi adalah :
- Tingkat bunga, yaitu tingkat bunga yang umum berlaku dalam masyarakat sebagai pembanding kupon (bunga) obligasi.
- Periode pembayaran bunga, yaitu periode waktu dimana penerbit melakukan pembayaran kupon.Biasanya 3 bulanan atau 6 bulanan.
Berbeda dengan harga saham yang dinyatakan dalam bentuk mata uang, harga obligasi dinyatakan dalam persentase (%), yaitu persentase dari nilai nominal. Ada 3 (tiga) kemungkinan harga pasar dari obligasi yang ditawarkan, yaitu:
Par (nilai Pari) : Harga Obligasi sama dengan nilai nominal
Misal: Obligasi dengan nilai nominal Rp 50 juta dijual pada harga 100%, maka nilai obligasi tersebut adalah 100% x Rp 50 juta = Rp 50 juta.
At premium (dengan Premi)
Harga Obligasi lebih besar dari nilai nominal Misal: Obligasi dengan nilai nominal RP 50 juta dijual dengan harga 102%, maka nilai obligasi adalah 102% x Rp 50 juta = Rp 51 juta
At discount (dengan Discount)
Harga Obligasi lebih kecil dari nilai nominal Misal: Obligasi dengan nilai nominal Rp 50 juta dijual dengan harga 98%, maka nilai dari obligasi adalah 98% x Rp 50 juta = Rp 49 juta.
Pendapatan atau imbal hasil atau return yang akan diperoleh dari investasi obligasi dinyatakan sebagai yield, yaitu hasil yang akan diperoleh investor apabila menempatkan dananya untuk dibelikan obligasi. Sebelum memutuskan untuk berinvestasi obligasi, investor harus mempertimbangkan besarnya yield obligasi, sebagai faktor pengukur tingkat pengembalian tahunan yang akan diterima.
Ada 2 (dua) istilah dalam penentuan yield yaitu current yield dan yield to maturity.
Currrent yield adalah yield yang dihitung berdasrkan jumlah kupon yang diterima selama satu tahun terhadap harga obligasi tersebut.
Current yield = bunga tahunan
harga obligasi
Yield to maturity (YTM) adalah tingkat pengembalian atau pendapatan yang akan diperoleh investor apabila memiliki obligasi sampai jatuh tempo. Formula YTM yang seringkali digunakan oleh para pelaku adalah YTM approximation atau pendekatan nilai YTM, sebagai berikut:
YTM approximation = C + R – P
n x 100%
R + P
2
Keterangan: C = kupon
n = periode waktu yang tersisa (tahun)
R = redemption value
P = harga pemeblian (purchase value)
Di dalam obligasi, semakin tinggi tingkat bunga umum (required yield),maka harga obligasi semakin turun.
3. Treasury Bills (T-Bills)
T-Bills merupakan instrument utang yang diterbitkan oleh pemerintah atau Bank Sentral atas unjuk dengan jumlah tertentu yang akan dibayarkan kepada pemegang pada tanggal yang telah ditetapkan. Instrumen ini berjangka waktu jatuh tempo satu tahun atau kurang. Instrumen yg sangat aman karena diterbitkan oleh pemerintah atau biasanya oleh Bank Sentral. Oleh karena itu instrumen ini sangat mudah diperjualbelikan dan disukai oleh perusahaan-perusahaan, terutama oleh lembaga-lembaga keuangan untuk dijadikan sebagai cadangan likuiditas sekuner yg memberikan hasil. T-Bills (istilah umum digunakan di dunia internasional) kalau di Indonesia adalah SBI (Sertifikat Bank Indonesia).
4. Commercial Paper
Commercial Paper (CP) pada dasarnya merupakan promes yang tidak disertai dengan jaminan (unsequred promissory notes), diterbitkan oleh perusahaan untuk memperoleh dana jangka pendek dan dijual kepada investor dalam pasar uang. Penerbit berjanji akan membayar sejumlah tertentu uang pada saat jatuh tempo. Penerbit CP adalah perusahaan yang mempunyai kredibilitas tinggi. Jangka waktu jatuh tempo CP ini berkisar mulai dari beberapa hari sampai 270 hari. Penjualan CP dilakukan umumnya dengan sistem diskonto, namun beberapa diantaranya menggunakan bunga sebagaimana halnya dengan kredit. Penerbitan CP dapat dilakukan secara langsung kepada investor maupun secara tidak langsung dengan menggunakan jasa perantara.
Kelebihan CP bagi penerbit dan investor antara lain sbb:
Bagi Penerbit:
• Tingkat bunga CP lebih rendah daripada prime rate, yaitu tingkat bunga kredit yang dikenakan perbankan kepada nasabah utamanya, sehingga biaya dana akan menjadi lebih murah.
• Tidak perlu menyediakan jaminan.
• Penerbitannya relatif lebih mudah karena pada prinsipnya hanya melibatkan penerbit dan investor.
• Jangka waktu jatuh temponya lebih fleksibel, dapat diperpanjang atas persetujuan investor.
Bagi Investor:
• CP menawarkan penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan misalnya Sertifikat Deposito, Treasury Bills.
• Dapat dijual kembali (didiskontokan) tanpa perlu menunggu jatuh temponya.
• Tingkat keamanannya relatif tinggi karena penerbit CP umumnya perusahaan dengan rating yang tinggi.
Kelemahan CP dilihat dari kepentingan investor dan penerbit antara lain:
1. Bagi investor, CP merupakan instrumen yang tidak disertai dengan jaminan. Kemungkinan penerbit melakukan rekayasa laporan keuangan untuk memperlihatkan keadaan likuiditas dan kemampuan perolehan labanya.
2. Bagi perusahaan penerbit, CP merupakan sumber dana jangka pendek sehingga perusahaan kurang leluasa untuk dijadikan sebagai modal investasi.
5. Banker’s Acceptance (BA)
BA adalah time draft (wesel berjangka) yang ditarik oleh seorang eksportir atau importir atas suatu bank untuk membayar sejumlah barang atau untuk membeli valuta asing. Apabila bank menyetujui wesel tersebut, bank akan menstempel dengan kata ”accepted” di atas wesel tersebut dan memprosesnya. Dengan demikian bank yang menerima dan memproses tersebut memiliki suatu janji atau jaminan tak bersyarat untuk membayar sebesar nilai nominal aksep tersebut pada saat jatuh tempo. Hal tersebut berarti bank yang bersangkutan menjamin eksportir dan investor dalam pasar uang internasional dari kemungkinan adanya gagal bayar (default). Jangka waktu akseptasi biasanya berkisar 30 sampai 270 hari, namun umumnya 90 hari. Aksep ini merupakan instrumen pasar uang yang berkualitas tinggi. Akseptasi bank sangat aktif diperdagangkan antar lembaga-lembaga keuangan, perusahaan industri, dealer surat-surat berharga sebagai investasi yang berkualitas tinggi dan sangat mudah diuangkan.
6. Bill of Exchange
Bill of Exchange atau wesel adalah suatu perintah tertulis tak bersyarat yang ditujukan oleh seseorang kepada pihak lainnya untuk membayar sejumlah uang pada saat diperlihatkan atau pada tanggal tertentu kepada penarik atau order atau pembawa. Karena sifatnya yang likuid, artinya penjual boleh melakukan pembayaran lebih awal sebelum wesel tersebut jatuh tempo dengan cara mendiskontokannya kepada bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan lainnya sebagai investasi jangka pendek, maka instrumen ini sangat umum digunakan dalam perdagangan. Penarikan wesel ini biasanya selalu didahului dengan adanya transaksi jual beli barang. Dimana penjual akan menjadi penarik wesel dan pembeli barang sebagai tertarik. Jangka waktu jatuh tempo wesel ini umumnya berkisar 6 hari sampai 180 hari. Pada prinsipnya Bill of exchange ini akan berubah menjadi Banker’s Acceptance apabila telah diaksep oleh bank. Oleh karena itu wesel ini dapat diperjualbelikan secara diskonto.
7. Repurchase Agreement (Repo)
Repo adalah transaksi jual beli surat-surat berharga disertai dengan perjanjian bahwa penjual akan membeli kembali surat-surat berharga yang dijual; tersebut pada tanggal dan dengan harga yang telah ditetapkan lebih dahulu. Surat-surat berharga yang biasanya dijadikan sebagai instrumen dalam transaksi Repo adalah surat-surat berharga yang dapat diperjualbelikan secara diskonto, misalnya SBI, SBPU, CD, CP dan T-bills
8. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
Karakteristik SBI:
• Satuan unit sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah).
• Berjangka waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan.
• Penerbitan dan perdagangan dilakukan dengan sistem diskonto.
• Diterbitkan tanpa warkat, artinya SBI diterbitkan tanpa adanya fisik SBI itu sendiri dan bukti kepemilikan bagi pemegang hanya berupa pencatatan elektronis.
• Dapat dipindahtangankan (negotiable).
SBI sebagai instrumen kebijaksanaan operasi pasar terbuka, terutama untuk tujuan kontraksi moneter. SBI yang ditebitkan dan diperdagangkan dengan sistem lelang, pada dasarnya penggunaannya sama dengan penggunaan T-Bills di pasar uang Amerika Serikat. Melalui penggunaan SBI tersebut, BI dapat secara tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat bunga di pasar uang dengan cara mengumumkan Stop Out Rate (SOR). SOR adalah tingkat suku bunga yang diterima oleh BI atas penawaran tingkat bunga dari peserta lelang.
Selanjutnya, SOR tersebut akan dapat dipakai sebagai indikator bagi tingkat suku bunga transaksi di pasar uang pada umumnya. SOR merupakan kebijakan Bank Indonesia dalam melakukan penjualan SBI secara lelang kepada Bank atau Lembaga Keuangan atau melalui Broker, dengan tujuan:
1. Untuk mengendalikan baik volume uang beredar maupun tingkat bunga melalui target volume yang diinginkan dan tingkat bunga dalam suatu batas tertentu.
2. Dengan menyerahkan tingkat bunga pada Prime Dealer untuk jumlah 60%, maka tingkat bunga menjadi wajar.
Pola pembelian SBI:
• Pembelian melalui Pasar Perdana (langsung ke BI)
• Pembelian melalui Pasar Sekunder
• Pembelian melalui Broker
Sebelum jatuh tempo SBI boleh diperjualbelikan, baik oleh Bank, LKBB, maupun masyarakat atau dunia usaha setiap saat melalui pasar sekunder. Untuk itu Security House (perantara) akan membeli atau menjual SBI setiap hari dengan tingkat diskonto yang berlaku di pasar. Untuk memperlancar perdagangan SBI ini Bank Sentral Indonesia menunjukkan beberapa market dan broker yang terdiri dari Bank-bank Umum sebagai lembaga penunjang dalam perdagangan SBI. Market maker disini bertindak sebagai penggerak pasar sekunder. Dalam hal ini market maker bertindak sebagai dealer yang berkewajiban sbb: membuat dan mengumumkan quotation, secara aktif mengajukan penawaran dan permintaan SBI di pasar sekunder, membeli dan menjual SBI dari dan kepada pihak yang mencari dan menawarkan SBI di pasar sekunder.
9. Surat Berharga Pasar Uang (SBPU)
SBPU adalah surat-surat berharga berjangka pendek yang dapat diperjualbelikan secara diskonto dengan Bank Indonesia atau lembaga diskonto yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
SBPU sama halnya dengan SBI merupakan instrumen operasi pasar terbuka dalam rangka ekspansi moneter oleh BI dengan menetapkan tingkat diskonto SBPU.
Ditinjau dari jenis transaksi dan warkatnya, SBPU dapat dibedakan sbb:
a. Surat Sanggup (aksep/promes), dapat berupa:
• Surat sanggup yang diterbitkan oleh nasabah dalam rangka penerimaan kredit dari bank untuk membiayai kegiatan tertentu.
• Surat sanggup yang diterbitkan oleh bank dalam rangka pinjaman antar bank.
b. Surat wesel, dapat berupa:
• Surat wesel yang ditarik oleh suatu pihak dan diaksep oleh pihak lain dalam rangka transaksi tertentu. Penarik dan atau tertarik adalah nasabah bank.
• Surat wesel yang ditarik oleh nasabah bank dan diaksep oleh bank dalam rangka pemberian kredit untuk membiayai kegiatan tertentu.
Mekanisme perdagangan SBPU adalah dunia usaha atau masyarakat yang merupakan nasabah berbentuk badan usaha maupun perorangan meneluarkan surat aksep atau wesel (sebagai surat utang) untuk mendapatkan dana dari Bank atau LKBB (Lembaga Keuangan bukan Bank). Kemudian SBPU dijualbelikan oleh Bank dan LKBB melalui security house (perantara) maupun melalui pasar sekunder, yaitu diperjualbelikan antara lembaga-lembaga keuangan itu sendiri serta dunia usaha atau masyarakat. SBPU ini melalui security house juga bisa dijualbelikan ke Bank Sentral Indonesia.
10. Call Money (Interbank Call Money Market)
Call Money adalah penempatan atau peminjaman dana jangka pendek (dalam hitungan hari) antar bank. Call Money merupakan instrument bank dalam mengatasi kekurangan atau kelebihan dana jangka pendek yang bersifat sementara.
PENUTUP
Berbagai jenis efek, adalah;
1. Treasury Bills (T-Bills)
2. Commercial Paper
3. Banker’s Acceptance (BA)
4. Bill of Exchange
5. Repurchase Agreement (Repo)
6. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
7. Surat Berharga Pasar Uang (SBPU)
8. Call Money (Interbank Call Money Market)
Selasa, 08 September 2009
FAKTOR-FAKTOR VERTIKAL SEBAGAI POTENSI KONFLIK MASYARAKAT MAJEMUK
I. PENDAHULUAN
Pluralitas masyarakat Indonesia adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri
karena sudah memiliki akar historis yang panjang. Masyarakat majemuk adalah merupakan masyarakat yang terbagi-bagi kedalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam mana masing-masing sub sistem terikat kedalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial.
Furnivall sendiri sudah mensinyalir bahwa konflik pada masyarakat majemuk Indonesia menemukan sifatnya yang sangat tajam, karena di samping berbeda secara horisontal, kelompok-kelompok itu juga berbeda secara vertikal,
menunjukkan adanya polarisasi. Artinya bahwa disamping terdiferensiasi
secara kelompok etnik agama dan ras juga ada ketimpangan dalam penguasaan
dan pemilikan sarana produksi dan kekayaan. Tetapi, dalam pembahasan ini, penulis hanya menyinggung masalah konflik masyarakat majemuk dari faktor-faktor vertikal. Lebih lanjutnya, akan dibahas pada bagian kedua makalah ini.
Istilah konflik berasal dari bahasa Latin, “Com” yang berarti “bersama” dan “Fligere” yang berarti melanggar, menabrak, menemukan, membentur. Dengan demikian, konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain, karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, “pertikaian” menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu, yang diekspresikan, diingat dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984). Konflik senantiasa berpusat pada beberapa sebab utama: tujuan yang ingin dicapat, alokasi sumber-sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers, 1982:234-237; Kreps, 1986:185;Stewart, 1993:341).
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam, yaitu:
1. konflik antara atau dalam peran social (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi,
2. konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank),
3. konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa), dan
4. konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara).
II. PEMBAHASAN
1. KONFLIK PENGHASILAN
Masalah keuangan dalam keluarga bisa menjadi konflik. Pemicunya tak sekadar penghasilan yang kurang. Perkara asal-usul penghasilan bisa mendatangkan persoalan besar juga.
Pada zaman sekarang ini masalah keuangan dalam keluarga bukan monopoli suami. Dalam satu keluarga, suami-istri sama-sama mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan rumah sudah lumrah. Artinya, suami dan istri bisa sama-sama memiliki penghasilan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, adakalanya penghasilan istri lebih tinggi dari penghasilan suaminya. Persoalannya, benarkah jika penghasilan istri lebih tinggi ketimbang suami akan selalu membuahkan konflik? Sebut saja Diana, 36 tahun, manajer sebuah perusahaan farmasi terkenal di Medan.
Penghasilannya jauh lebih besar dibanding suaminya yang bekerja seprofesi. Mulai dari cicilan rumah, mobil hingga keperluan rumah tangga dibayar oleh Diana. Sedangkan uang suami untuk belanja sehari-hari. "Hampir semua kebutuhan rumah tangga, pakai uang saya, makanya saya nggak punya tabungan. Tapi harus bagaimana lagi, karena mengharapkan gaji suami tidak cukup,'' ungkapnya.
Kalau mengikuti kata hati, begitu perempuan lulusan S2 Farmasi ini melanjutkan komentarnya, ia mengaku sangat kesal dengan keadaan ini. ''Bayangkan saja, saya berangkat kantor jam enam pagi, menyetir sendiri, pulang jam sembilan malam. Tapi gaji saya habis untuk kebutuhan di rumah. Kalau bukan karena keimanan, saya mungkin sudah tidak kuat dengan kondisi rumah tangga seperti ini,'' papar Diana yang sudah menikah selama lima tahun.
Diana cuma sekadar mengomel. Pada beberapa kasus sering kita temukan, suami-isteri bercerai hanya karena isteri merasa jadi 'sapi perah' akibat gaji sang suami lebih kecil.
Menurut Henny E Wirawan, seorang psikolog dari Universitas Tarumanegara, karier dan penghasilan istri yang lebih besar seharusnya tidak menjadi sebuah masalah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pasangan suami istri agar tidak menuai konflik saat hal itu terjadi.
Menurut Henny E Wirawan, seorang psikolog dari Universitas Tarumanegara, karier dan penghasilan istri yang lebih besar seharusnya tidak menjadi sebuah masalah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pasangan suami istri agar tidak menuai konflik saat hal itu terjadi, yaitu:
Pertama, ubah pola pikir. Selama ini pola pikir dalam masyarakat cenderung menempatkan wanita dalam wilayah domestik yang bertanggung jawab terhadap urusan pengasuhan anak dan dapur. Sementara lelaki berperan sebagai pencari nafkah dan tulang punggung keluarga. Nah, konflik akan muncul bila yang terjadi justru sebaliknya.
Oleh sebab itu, suami jangan langsung merasa tertekan saat mengetahui istrinya membawa lebih banyak uang ke rumah. Sebaliknya, syukuri keadaan ini sebagai sebuah berkah. Sebab, pemasukan yang lebih besar berarti kualitas hidup pun jadi lebih baik.
Kedua, pandai menempatkan diri. Pengertian yang dicapai akan membuat segalanya lebih mudah. Selain itu, suami-istri harus bisa menempatkan dirinya dengan baik. Semisal, di luar rumah istri berprofesi sebagai seorang Direktur. Tapi, ketika kembali ke rumah ia harus ingat perannya sebagai seorang istri. "Ini yang seringkali terlupakan. Seorang istri jangan sampai membawa kebiasaannya di kantor ke rumah. Ketika kembali ke rumah, ia harus kembali pula pada perannya sebagai pendamping suami," ungkap Henny.
Ketiga, berbagi tanggung jawab. Karier istri semakin cemerlang dengan promosi yang baru didapatkannya tahun ini. Ini juga berarti tuntutan tanggung jawab yang lebih besar di kantornya. Konsekuensinya, waktu untuk keluarga pun jadi berkurang. Lalu, siapa yang bertugas mengurus rumah dan anak-anak? Untuk masalah satu ini, pasangan suami-istri harus memutuskannya berdasarkan apa yang terbaik untuk anak-anak. Lupakan dulu ego masing-masing!
Hilangkan pemikiran bahwa tinggal di rumah sama dengan tidak bekerja. "Hilangkan konsep masa lalu bahwa stay at home berarti tidak melakukan apa-apa. Jangan pernah menganggap remeh pekerjaan rumah tangga. Sebab itu adalah pekerjaan yang sangat berat, semuanya dilakukan sejak matahari terbit hingga tenggelam. Pekerjaan rumah tangga itu sangat bernilai tinggi. Tak ada salahnya dengan menjadi bapak rumah tangga, kok." ujar Henny.
Keempat, pengaturan finansial. Saat posisi pekerjaan berada dalam satu level, pengaturan masalah keuangan mungkin tak ada masalah. Tapi, kadangkala konflik muncul ketika gaji istri lebih besar. Tak jarang istri yang merasa penghasilannya lebih besar merasa punya kuasa lebih dalam mengatur keuangan. Nah, hal inilah yang biasanya membuat suami mudah tersinggung.
Untuk mengatasi masalah ini, Henny menyarankan agar masing-masing pasangan membuat pengaturan finansial yang lebih fleksibel. Artinya, aturan ini merupakan hasil kesepakatan bersama. Misalnya, penghasilan keduanya disatukan baru kemudian dibagi sesuai dengan pos-pos pengeluaran yang telah ditentukan.
Kelima, abaikan saja. Karier istri yang lebih cemerlang dari suami, tak jarang menimbulkan suara sumbang dari lingkungan. Lingkungan di sini bisa berarti lingkungan keluarga maupun lingkungan pekerjaan. Apalagi bila suami ternyata lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah.
Di mata Konsultan Perencanaan Keuangan, Safir Senduk, tidak ada masalah jika penghasilan suami lebih rendah dari istri. Justru mereka bisa saling membantu meringankan biaya rumah tangga. Para suami jangan minder, sebaliknya para istri pun jangan mentang-mentang. Semuanya “low profile” saja. Karena kalau istri mulai semena-mena, sikap itu salah dan bisa menjadi masalah.
''Ingat, status kaya atau tidaknya seseorang tidak ditentukan oleh penghasilan, gaji atau kekayaan. Tapi bagaimana mereka bisa menyimpan (menabung) dari penghasilannya,'' kata penulis buku Seri Perencanaan Keuangan Keluarga ini.
2. KONFLIK PENDIDIKAN
Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.
Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multikultural diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik. Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan.
Dengan perintisan model pengajaran multikultural yang dikembangkan oleh Pusat kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, diharapkan siswa akan lebih mengetahui pluralitas dan menghargai keberagaman tersebut.
Hapus Diskriminasi. Sikap menghargai keberagaman, juga harus ditanamkan di sekolah. Sebenarnya, sekolah adalah tempat menghapuskan berbagai jenis prasangka yang bertujuan membuat siswa terkotak-kotak. Sekolah harus bebas diskriminasi.
Untuk menghindari konflik seperti kasus yang pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, sudah saatnya dicarikan solusi preventif yang tepat dan efektif. Salah satunya adalah melalui pendidikan multikultural.
Pada model pendidikan ini, pengenalan dan sosialisasi program pengembangan model pendidikan multikultural dapat dilakukan dengan menggunakan film semi dokumenter. Mengapa? Karena pembelajaran ini menawarkan metodologi dan pendekatan yang berbeda dari model-model pembelajaran konvensional yang selama ini dicekoki ke siswa.
Beberapa pencapaian indikator pembelajaran. Di antaranya, adanya pemahaman dan afeksi siswa tentang nilai-nilai multikultural yang dikembangkan. Misalnya; toleransi, solidaritas, musyawarah, dan pengungkapan diri.
Selain itu, melalui model pembelajaran berbasis multikultural, siswa diperkenalkan dan diajak mengembangkan nilai-nilai dan sikap toleransi, solidaritas, empati, musyawarah, dan egaliter. Dan ini bisa menghambat terjadinya konflik.
Model pembelajaran multikultural ini bisa berhasil, jika kepala sekolah mendukung program ini. Selain itu, para pengajar juga mau menerima pembaruan dan sekolah sudah terbiasa mengembangkan kurikulum sendiri di samping kurikulum dari Departemen Pendidikan Nasional. Sementara, alat lain yang mendukung adalah adanya audio-visual karena ini menjadi penting untuk menyaksikan film-film bertema multikultural.
3. KONFLIK PEMUKIMAN
Menilik kasus-kasus konflik etnis di Kalimantan Barat, ini bukanlah kasus perselisihan warga berbuah kekerasan komunal etnis yang pertama. Jika melihat kebelakang kasus-kasus konflik etnis di Kalbar, kita akan melihat pola kasus etnis yang serupa dan berulang. Meskipun dengan variasi keterlibatan etnis yang berbeda. Tercatat misalnya pada masa Hindia-Belanda ada beberapa kasus konflik yang melibatkan etnis Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Kemudian pada masa setelah kemerdekaan pada tahun 1950’an yang melibatkan etnis Tionghoa dan Melayu. Dan puncaknya memang kasus konflik etnis tahun 1997-1999 yang melibatkan etnis Madura, Melayu, dan Dayak. Konflik etnis yang menelan jiwa hingga ribuan nyawa melayang dan jutaan orang kehilangan tempat tinggal dan hartanya. Sedikit banyak fakta ini menunjukkan bahwa Kalbar memang rawan terhadap potensi-potensi konflik yang bersifat keetnisan.
Dalam konteks Kalbar, pemerintah menganggap konflik telah selesai ketika para pengungsi akibat konflik telah dipindah lokasi pemukiman baru Tebang Kacang. Mereka tidak melihat bahwa perasaan-perasaan curiga, stereotype, dan prasangka antara etnis masih berkembang ditingkat masyarakat Kalbar. Masih adanya penolakan oleh kelompok etnis tertentu kepada kelompok etnis yang lain di Kalbar untuk kembali ke asalnya hingga kini masih terjadi. Permasalahan-permasalahan kejelasan hak para pengungsi dan korban konflik etnis, terutama bagi etnis yang kalah, hingga kini masih buram. Pemerintah daerah tidak mau secara terbuka membicarakan kasus-kasus tersebut secara terbuka. Dilain sisi muncul dugaan bahwa pemerintah daerah mencoba untuk membatasi ruang dialog antar etnis pada isu-isu tertentu karena alasan sensitivitas isu yang ditakutkan akan menganggu stabilitas keamanan.
Salah satu dampak yang timbul ditingkat publik adalah adanya penolakan-penolakan dan keengganan sebagian masyarakat di Kalbar untuk membicarakan isu-isu etnis secara terbuka untuk mencari penyelesaiannya. Atau misalnya penolakan masyarakat Melayu di Sambas yang hingga kini menolak kembalinya masyarakat Madura di wilayah Sambas. Oleh pemerintah sendiri kasus konflik antar sukubangsa ini dinyatakan telah selesai dengan dipindahkannya para pengungsi ke tempat pemukiman baru (Tebang Kacang). Namun, permasalahannya tidak sesederhana itu. Banyak persoalan dilapangan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Seperti misalnya bagaimana hak-hak milik para pengungsi di daerah asal (Sambas) yang telah ditinggalkan dan pemulihan kehidupan mereka dilokasi pengungsian yang menurut mereka lebih menyerupai lokasi pengucilan dari kelompok masyarakat lainnya.
Salah satu kunci membina perdamaian yang berkesinambungan adalah bagaimana membangun kepercayaan yang ada ditingkat grassroot. Dengan membangun kepercayaan yang ada ditingkat grassroot, permasalahan-permasalahan sepele akan dapat segera diselesaikan ditingkat lokal tanpa melibatkan pihak yang diatasnya, masyarakat dapat segera mandiri dapat menyelesaikan konfliknya dengan cara-cara yang tentu saja menjadi kesepakatan umum dan hukum. Kemandirian warga dalam menyelesaikan konfliknya tak lepas dari seberapa berdayanya kekuatan institusi-institusi lokal yang ada di masyarakat lokal dan aliran hukum dapat berfungsi dengan baik.
Membina kepercayaan ditingkat grassroot bukanlah pekerjaan yang mudah, harus mesti dimulai dari hal-hal atau kegiatan yang sederhana, namun dapat menjangkau kelompok etnis yang bersangkutan. Disinilah sesungguhnya harapan yang besar kepada pemerintah untuk bekerja bersama dengan berbagai komponen masyarakat dalam menyelesaikan agenda-agenda perdamaian. Penuntasan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sempat tertunda adalah salah satu upaya untuk memperkuat kepercayaan masyarakat atas niat baik pemerintah pusat untuk mambantu menyelesaikan konflik komunal secara tuntas.
Langkah berikutnya adalah dengan bagaimana visi menjaga perdamaian agar dapat berkesinambungan menjadi mainstream program pembangunan di Kalbar, yang diterjemahkan dalam kebijakan dan operasional program yang sifatnya integrative dan komprehensif. Harus ada ukuran-ukuran yang jelas dan kompeten untuk menunjukkan perdamaian di Kalbar. Sampai dalam tahapan mana perubahan-perubahan telah terjadi. Seperti apa yang disarankan oleh John Paul Lederach(2003) dalam konsepnya tentang Transformasi Konflik (Conflict Transformation) dimana setiap proses untuk mencapai perdamaian yang berkesinambungan sebaiknya dapat menyentuh 4 dimensi perubahan yang signifikan, yaitu dimensi perubahan yang ada tingkat personal, relasional, struktural, dan yang paling ideasional adalah tingkatan kultural, atau perubahan yang ada ditingkat pengetahuan budaya yang menjadi acuan bagi kelompok dalam bertindak.
Jadi, tidak mudah memang karena tidak ada jalan singkat dan instant untuk membangun perdamaian. Perlu kesabaran dan upaya terus-menerus dari kesemua pihak. Semoga insiden Pontianak baru-baru ini menyadarkan kita kembali bahwa perjalanan kita untuk mencapai perdamaian yang berkesinambungan masih jauh dari akhir.
4. KONFLIK PEKERJAAN
Ketika rasa frustasi yang berat membayangi kita, kualitas pekerjaan kita dan keakraban hubungan kita dengan orang lain akan terpengaruh. Kesehatan kita secara fisik maupun emosional juga dapat terganggu. Mungkin kita akan berhenti berolahraga atau menarik diri dari teman-teman dan gereja pada saat kita merasa semakin frustasi atau tertimpa kesedihan. Kerinduan saya karena saya juga pernah mengalaminya adalah memberi wawasan dan pengharapan bagi Anda yang mengalami konflik seperti ini.
Saya ingin Anda tahu bahwa penyelesaian akan masalah pekerjaan ini berkisar pada beberapa hal penting di bawah ini:
- Identifikasi masalah (Apakah ini masalahku atau masalah mereka?),
- Segera menghadapi masalah (Kalau tidak, masalah itu akan semakin
buruk),
- Mengandalkan Allah,
- Tanggung Jawab (Belajar bersikap terbuka, jujur, dan tekun berdoa
bersama orang lain), dan
- Antisipasi (Mengharapkan Allah menolong dan mengarahkan Anda dalam
setiap situasi).
Kita biasanya menganggap bahwa konflik disebabkan oleh seseorang atau sesuatu di luar diri kita. Namun, sering kali kita juga frustasi karena konflik-konflik internal. Sebagai contoh, kita ambil kisah Luke.
Eksternal. Luke mempunyai masalah dalam hubungan dengan rekan sekerja dan bosnya. Saya harus menentukan apakah memang mereka yang salah atau apakah Luke memiliki kelemahan tak disadari yang turut memicu masalah. Kami menemukan kesalahan pada kedua pihak. Luke memiliki beberapa kebiasaan yang sangat menjengkelkan, dan bosnya perlu "pencangkokan kepribadian"! Konflik berkepanjangan dengan orang lain merupakan sumber utama konflik eksternal.
Internal. Luke tidak sanggup memutuskan meninggalkan pekerjaannya. Jadi, ia tetap mendua hati, berada di antara dua pilihan: rasa aman (disertai kebosanan) dan risiko (disertai kegairahan). Kondisi ini merupakan sumber konflik yang sangat besar, dan sikapnya terus memburuk selama beberapa tahun ini. Luke telah membuat komitmen untuk mengikuti Kristus dan hidup sebagai orang Kristen sejak kecil, namun secara perlahan ia menjadi orang Kristen "Minggu-an". Ia merasa terpisah dari Allah karena ia juga semakin dalam terlibat perselingkuhan dengan seorang rekan kerjanya yang sudah menikah, dan ini menambah kekacauan yang sudah ada.
Dalam hidup ini, saya terbiasa menggunakan reaksi "sentakan lutut" (terlalu cepat bereaksi) dan pendekatan "kepala di dalam pasir" (bersembunyi dari masalah) untuk memecahkan konflik dalam pekerjaan. Berharap bahwa jika Anda mengabaikan masalah maka masalah itu akan berlalu adalah hal yang mudah. Reaksi manusiawi semacam ini jarang berhasil. Jarang sekali masalah lenyap dengan sendirinya. Dan, Anda juga tidak dapat mengandalkan orang lain untuk memecahkan masalah Anda. Ketegangan Luke mulai mencair ketika ia menyadari bahwa dirinya bukanlah korban. Selama itu ia justru telah memusatkan diri pada banyak hal yang ia anggap merupakan kesalahan atau tanggung jawab orang lain. Ketika ia mampu menyadari bahwa dirinya punya masalah dalam berkomunikasi dan mulai mengambil langkah-langkah perubahan, ia terkejut menemukan orang lain tiba-tiba lebih mudah bekerja sama dengan dirinya. Tidak, ia tidak dapat menjadi sahabat terbaik untuk bosnya yang sulit itu. Namun, ia mampu menjalin hubungan kerja yang tulus dalam sisa waktunya bekerja di tempat tersebut.
Kita bukanlah pion yang dapat dimanfaatkan oleh situasi atau orang lain. Ada sesuatu yang dapat Anda lakukan untuk memperbaiki situasi kerja Anda yang buruk, meskipun Anda bukan penyebabnya. Dan, sebagai orang Kristen, saya dapat meyakinkan Anda bahwa Allah menghargai orang-orang yang mencari Dia dan menantikan pertolongan-Nya dalam setiap situasi, juga orang-orang yang bersedia melakukan tugas yang harus dikerjakan karena adanya perubahan.
Banyak di antara kita berada dalam jurang penderitaan. Kita terpaksa bertahan dalam konflik karena perubahan terlalu berisiko. Keluar dari jurang itu membutuhkan penyelesaian konflik dan peralihan ke tahap pertumbuhan berikutnya. Itu artinya melepaskan cara berpikir dan bertindak yang lama, dan bertanggung jawab atas kedewasaan diri dan kebutuhan kerja kita.
Saya tidak akan mengatakan bahwa satu jawaban "cocok untuk semuanya". Itu mustahil karena Allah merancang kita secara unik dan kita memiliki pola alamiah yang berbeda dalam menangani konflik, perubahan dan komunikasi. Intinya adalah mempelajari keterampilan baru yang Anda perlukan untuk menolong diri Anda membuat perubahan yang tepat dalam hidup Anda.
5. KONFLIK KEDUDUKAN SOSIO-POLITIK
Secara kuantitatif, Etnik Cina merupakan minoritas di tengah kemajemukan etnik Indonesia . Dari segi tempat tinggal mereka, ada perbedaan pola sebaran antar berbagai pulau di Indonesia . Khusus untuk Jawa dan Madura, persentase terbesar (78,4%) bertempat tinggal di wilayah perkotaan, sedangkan sisanya (21,6%) bertempat tinggal di pedesaan (Coppel, 1983:7). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar Etnik Cina di Jawa dan Madura berkegiatan ekonomi pada sektor perdagangan dan industri perkotaan.
Walaupun demikian, secara kualitatif, persoalan yang dianggap telah ditimbulkan oleh keberadaan Etnik Cina ini tidak bisa disebut kecil. Walaupun telah dikecam karena tidak didasarkan pada temuan penelitian empirik (Wibowo, 2000:XV), beredar pendapat bahwa minoritas Etnik Cina di Indonesia telah menguasai 70 sampai 80 persen perekonomian Indonesia . Begitu dianggap penting persoalan Etnik Cina di Indonesia, sehingga memunculkan suatu isu khusus, yaitu: “Masalah Cina”.
“Masalah Cina” merupakan isu yang hangat dibicarakan dalam masyarakat Indonesia , dan tanpa bisa dihindari, persoalan ini memunculkan sejumlah pertanyaan. Apakah Cina Indonesia harus mempertahankan jati diri kebudayaan mereka sendiri atau harus berintegrasi atau berasimilasi ke dalam kebudayaan Indonesia .
Adanya beberapa bentuk pola hubungan antar etnik. Menurut Persell (1990:235-238), secara teoretik, antagonisme etnik akan mengakibatkan salah satu dari enam jenis hubungan terpola. Masing-masing adalah: asimilasi, pluralisme, perlindungan hukum minoritas, eksklusif atau perpindahan penduduk, penaklukan, atau genocide .
Antagonisme etnik sendiri, dihipotesiskan akan terjadi bila ada sejumlah prasyarat, yaitu:
(1) adanya dua kelompok etnik yang berbeda,
(2) adanya perbedaan praktek budaya dan ciri-ciri fisik kelompok yang bisa dikenali,
(3) adanya persaingan antar kedua kelompok untuk mendapatkan barang-barang atau sumber-sumber yang terbatas, dan
(4) adanya ketimpangan distribusi kekuasaan dan sumberdaya pada kedua kelompok yang bersaing.
Terlepas dari apakah keempat kondisi prasyarat tersebut semuanya terpenuhi atau tidak, kerusuhan antar etnik termasuk terhadap Etnik Cina di Indonesia seolah-olah terus mengikuti dinamika sejarah Indonesia .
Tidak bisa disangkal bahwa kajian tentang etnik Cina di Indonesia sudah banyak dilakukan. Bahkan tak sedikit dari kajian itu yang diterbitkan. Ini menunjukkan bahwa fenomena etnik Cina di Indonesia telah merangsang begitu banyak kajian, baik kajian lapangan maupun kepustakaan. Sementara itu, usaha untuk menentukan letak Etnik Cina dalam masyarakat Jawa selama abad ke dua puluh, dilakukan oleh Rush (1991). Kajian sejarah ini menggunakan sejumlah bahan dokumenter yang relevan untuk mencermati bagaimana para tokoh masyarakat Etnik Cina memerankan diri dalam perubahan-perubahan besar di Jawa. Seperti melanjutkan kajian ini, secara lintas disiplin Witanto (2000) memadukan pendekatan analisis ruang dan perkembangan sejarah masyarakat Cina dan posisi mereka dalam masyarakat Indonesia. Salah satu faktor mendorong munculnya konflik dan kekerasan tersebut adalah morfologi fisik pemukiman. Pola pemukiman yang berubah menjadi model sosio ekonomi yang eksklusif telah menumbuhkan citra negatif sebuah kelompok bermodal. Di lain pihak, kondisi perkotaan yang semakin parah telah memberikan tekanan tersendiri bagi warga kota secara umum. Akibatnya, sentimen etnik terhadap kelompok bermodal yang selama ini tersembunyi, menjadi mengemuka karena kelompok bermodal dianggap tidak terkena dampak krisis ekonomi.
Adanya dua kecenderungan penjelasan terhadap kedudukan Etnik Cina dalam kehidupan ekonomi Indonesia, yaitu:
(1) pendekatan struktural dan kelas, dalam kaitannya dengan penguasa Orba dan militer, dan
(2) pendekatan etnik dan kultural yang memberikan penekanan pada keunggulan motivasi dan ketrampilan usaha Etnik Cina.
Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Walaupun diakui, tidak cukup mewakili, karena hanya mengkaji dua kasus individu seperti Oei Tiong Ham dan Liem Sioe Liong. Mely G. Tan (1991) juga mengemukakan bahwa minat kajian terhadap dimensi sosial dan kultural Etnik Cina juga mendapatkan cukup perhatian. Ini terjadi karena selama Orba , Indonesia menerapkan serangkaian kebijakan untuk meningkatkan pembauran.
Dari sebelas faktor yang berpengaruh terhadap interaksi Cina dan Pribumi, dipadatkan oleh Musianto (1997) menjadi enam faktor, yaitu: nenek moyang atau keturunan, kepribadian atau mentalitas, pendidikan, status, sosial ekonomi dan keagamaan.
Terakhir, ada dua kajian yang menganalisis kasus-kasus kekerasan dan kerusuhan terhadap Etnik Cina. Pertama , karya Abdul Baqir Zein (2000) yang melakukan rekonstruksi dan analisis dampak kerusuhan berdasar sejumlah berita dan pendapat banyak orang sebagaimana dimuat dalam surat kabar dan majalah. Kedua , analisis terhadap kasus kerusuhan 13-15 Mei 1998 oleh Pattiradjawane (2000:213). Kasus yang oleh penulisnya disebut sebagai titik terendah sejarah orang Etnik Cina di Indonesia ini, ternyata masih menimbulkan silang pendapat. Ada yang berpendapat bahwa kerusuhan tersebut tidak memiliki kaitan langsung dengan gerakan anti Cina. Di sisi lain, ada yang meragukan bahwa kerusuhan tersebut sama sekali tidak mengandung sentimen rasial. Sebab, walaupun tidak ada fakta yang independen mengenai apa yang menimpa orang-orang keturunan Cina, banyaknya orang keturunan Cina yang dijadikan sasaran perusakan, pembakaran, penjarahan dan perkosaan, cukup menjadi bukti adanya suatu bentuk diskriminasi rasial untuk menjadikan orang-orang keturunan Cina traumatik. Dalam kerusuhan itu, seseorang diperkosa bukan karena dia perempuan, tapi karena dia adalah orang keturunan Cina.
Telah dikemukakan, bahwa bagian terbesar Etnik Cina, khususnya di Jawa dan Madura, tinggal di wilayah perkotaan. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah ketegangan sosial yang melibatkan etnik keturunan Cina hanya terjadi di perkotaan? Bagaimana dampak sosialnya bila persaingan ekonomi yang melibatkan etnik keturunan cina berlangsung di pedesaan? Bagaimana pula pola hubungan antara etnik keturunan Cina Etnik Jawa di pedesaan?
Kalau setiap pertikaian selalu melibatkan persaingan, maka tidak semua kasus persaingan melibatkan pertikaian. Walaupun tidak jarang diliputi oleh ketegangan sosial, pola interaksi persaingan memberikan kecakapan khususnya dalam meningkatkan daya saing. Daya saing ini dicapai melaluli peningkatan efisiensi, produktivitas, dan kualitas produk pertanian yang mereka hasilkan.
Dinamika hubungan antar etnik ini dipandang menyerupai model dialektika Simmel, karena setiap pola hubungan baru merupakan akibat dialektika interaksi satu pihak dengan pihak lain. Dialektika itu sendiri, membentuk pola hubungan yang berubah dari pola penguasaan, menjadi kerjasama, persaingan, dan akhirnya pertikaian. Sekaligus tampak pula, bahwa hubungan antar etnik memiliki akibat lebih fungsional bila berlangsung mengikuti pola kerjasama dan persaingan. Sedangkan pola hubungan penguasaan dan persaingan cenderung disfungsional terhadap sistem sosial ekonomi. Akan halnya kepentingan sejati di balik konflik agama dan etnik, sebenarnya mengikuti pemikiran Marxian, yaitu: materi.
Dalam rangka mengurangi konflik yang terus terjadi antara etnis Cina dan lainnya diperlukan kebijakan Negara yang lebih melindungi warga minoritas. Walaupun telah banyak berbagai macam kebijakan politik dan hukum, namun kenyataannya konflik ini terus terjadi. Situasi yang demikian akan mengurangi minat kelompok etnis Cina untuk melakukan kegiatan bisnis, padahal mereka merupakan potensi yang selama ini belum bisa diganti. Disamping itu, apapun yang terjadi pada kelompok minoritas Cina di Indonesia, pemerintah RRC tidak akan tinggal diam dan hal ini sangat mengancam stabilitas Negara Indonesia yang sudah sangat terpuruk ini.
III. PENUTUP
Negara-bangsa yang majemuk memang akan dihadapkan pada instabilitas, bahkan kecenderungan disintegrasi, tetapi bila perbedaan vertikal itu sekaligus
pula diikuti dengan akses, kontrol, dan distribusi sumber daya ekonomi yang
timpang serta sektor politik yang tidak partisipatif bagi semua kelompok.
Dalam situasi yang senjang secara ekonomi dan politik bisa saja orang-orang
yang melihat jalan kehidupannya relatif tertutup, untuk meraih kedudukan
yang diinginkan mereka berusaha mengerahkan kelompoknya. Untuk keperluan
mobilisasi tersebut mereka cenderung memanfaatkan loyalitas tradisionalnya,
yaitu melalui ikatan primordialnya.
Demikian pula, kelompok yang diuntungkan oleh situasi yang timpang berupaya mengerahkan loyalitas tradisionalnya untuk mempertahankan kedudukan mereka. Namun demikian, potensi konflik itu tidak akan manifes bila prasyarat-prasyarat tertentu dipenuhi.
Pertama, negara Indonesia demokratis, yang artinya semua kelompok etnik, agama, ras, mayoritas maupun minoritas memiliki perwakilan dalam institusi politik yang bisa menyalurkan aspirasi dan kepentingan mereka.
Kedua, hubungan-hubungan di antara kelompok-kelompok yang berbeda tersebut dikendalikan melalui prinsip-prinsip hukum yang obyektif. Dengan perkataan lain, tegaknya supremasi hukum dan hukum tidak memihak pada kelompok tertentu, tetapi mengatasi semua kelompok tanpa kecuali.
Ketiga, adanya distribusi pendapatan yang relatif merata antar kelompok,
artinya ketimpangan sosial-ekonomi tidak begitu senjang antar kelompok dan
daerah.
Masyarakat Belgia, Swiss, dan Kanada termasuk dalam kategori masyarakat majemuk, tetapi heterogenitas masyarakat ini tidak menjadi persoalan besar dalam proses integrasi nasional. Tidak terjadi konflik terbuka antar kelompok masyarakat dan negara selalu dalam keadaan stabil. Itu
dimungkinkan karena, di ketiga negara bersangkutan sistem demokrasi,
supremasi hukum, dan distribusi pendapatan yang relatif merata berjalan
dengan baik. Mungkin kita bisa belajar kepada mereka, bagaimana mengelola
masyarakat majemuk dengan tetap menjaga kemajemukan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.mail-archive.com/i-kan-konsel@xc.org/msg00005.html
http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=3197
http://prasetijo.wordpress.com/2007/12/09/mencermati-kasus-konflik-etnis-di-kalimantan-barat-tantangan-untuk-mempertahankan-perdamaian-berkesinambungan/
http://elka.umm.ac.id/artikel6.htm
http://www.i-comers.com/family-relationships-articles/6415-ketika-penghasilan-isteri-lebih-besar.html
Pluralitas masyarakat Indonesia adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri
karena sudah memiliki akar historis yang panjang. Masyarakat majemuk adalah merupakan masyarakat yang terbagi-bagi kedalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam mana masing-masing sub sistem terikat kedalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial.
Furnivall sendiri sudah mensinyalir bahwa konflik pada masyarakat majemuk Indonesia menemukan sifatnya yang sangat tajam, karena di samping berbeda secara horisontal, kelompok-kelompok itu juga berbeda secara vertikal,
menunjukkan adanya polarisasi. Artinya bahwa disamping terdiferensiasi
secara kelompok etnik agama dan ras juga ada ketimpangan dalam penguasaan
dan pemilikan sarana produksi dan kekayaan. Tetapi, dalam pembahasan ini, penulis hanya menyinggung masalah konflik masyarakat majemuk dari faktor-faktor vertikal. Lebih lanjutnya, akan dibahas pada bagian kedua makalah ini.
Istilah konflik berasal dari bahasa Latin, “Com” yang berarti “bersama” dan “Fligere” yang berarti melanggar, menabrak, menemukan, membentur. Dengan demikian, konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain, karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, “pertikaian” menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu, yang diekspresikan, diingat dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984). Konflik senantiasa berpusat pada beberapa sebab utama: tujuan yang ingin dicapat, alokasi sumber-sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers, 1982:234-237; Kreps, 1986:185;Stewart, 1993:341).
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam, yaitu:
1. konflik antara atau dalam peran social (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi,
2. konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank),
3. konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa), dan
4. konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara).
II. PEMBAHASAN
1. KONFLIK PENGHASILAN
Masalah keuangan dalam keluarga bisa menjadi konflik. Pemicunya tak sekadar penghasilan yang kurang. Perkara asal-usul penghasilan bisa mendatangkan persoalan besar juga.
Pada zaman sekarang ini masalah keuangan dalam keluarga bukan monopoli suami. Dalam satu keluarga, suami-istri sama-sama mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan rumah sudah lumrah. Artinya, suami dan istri bisa sama-sama memiliki penghasilan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, adakalanya penghasilan istri lebih tinggi dari penghasilan suaminya. Persoalannya, benarkah jika penghasilan istri lebih tinggi ketimbang suami akan selalu membuahkan konflik? Sebut saja Diana, 36 tahun, manajer sebuah perusahaan farmasi terkenal di Medan.
Penghasilannya jauh lebih besar dibanding suaminya yang bekerja seprofesi. Mulai dari cicilan rumah, mobil hingga keperluan rumah tangga dibayar oleh Diana. Sedangkan uang suami untuk belanja sehari-hari. "Hampir semua kebutuhan rumah tangga, pakai uang saya, makanya saya nggak punya tabungan. Tapi harus bagaimana lagi, karena mengharapkan gaji suami tidak cukup,'' ungkapnya.
Kalau mengikuti kata hati, begitu perempuan lulusan S2 Farmasi ini melanjutkan komentarnya, ia mengaku sangat kesal dengan keadaan ini. ''Bayangkan saja, saya berangkat kantor jam enam pagi, menyetir sendiri, pulang jam sembilan malam. Tapi gaji saya habis untuk kebutuhan di rumah. Kalau bukan karena keimanan, saya mungkin sudah tidak kuat dengan kondisi rumah tangga seperti ini,'' papar Diana yang sudah menikah selama lima tahun.
Diana cuma sekadar mengomel. Pada beberapa kasus sering kita temukan, suami-isteri bercerai hanya karena isteri merasa jadi 'sapi perah' akibat gaji sang suami lebih kecil.
Menurut Henny E Wirawan, seorang psikolog dari Universitas Tarumanegara, karier dan penghasilan istri yang lebih besar seharusnya tidak menjadi sebuah masalah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pasangan suami istri agar tidak menuai konflik saat hal itu terjadi.
Menurut Henny E Wirawan, seorang psikolog dari Universitas Tarumanegara, karier dan penghasilan istri yang lebih besar seharusnya tidak menjadi sebuah masalah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pasangan suami istri agar tidak menuai konflik saat hal itu terjadi, yaitu:
Pertama, ubah pola pikir. Selama ini pola pikir dalam masyarakat cenderung menempatkan wanita dalam wilayah domestik yang bertanggung jawab terhadap urusan pengasuhan anak dan dapur. Sementara lelaki berperan sebagai pencari nafkah dan tulang punggung keluarga. Nah, konflik akan muncul bila yang terjadi justru sebaliknya.
Oleh sebab itu, suami jangan langsung merasa tertekan saat mengetahui istrinya membawa lebih banyak uang ke rumah. Sebaliknya, syukuri keadaan ini sebagai sebuah berkah. Sebab, pemasukan yang lebih besar berarti kualitas hidup pun jadi lebih baik.
Kedua, pandai menempatkan diri. Pengertian yang dicapai akan membuat segalanya lebih mudah. Selain itu, suami-istri harus bisa menempatkan dirinya dengan baik. Semisal, di luar rumah istri berprofesi sebagai seorang Direktur. Tapi, ketika kembali ke rumah ia harus ingat perannya sebagai seorang istri. "Ini yang seringkali terlupakan. Seorang istri jangan sampai membawa kebiasaannya di kantor ke rumah. Ketika kembali ke rumah, ia harus kembali pula pada perannya sebagai pendamping suami," ungkap Henny.
Ketiga, berbagi tanggung jawab. Karier istri semakin cemerlang dengan promosi yang baru didapatkannya tahun ini. Ini juga berarti tuntutan tanggung jawab yang lebih besar di kantornya. Konsekuensinya, waktu untuk keluarga pun jadi berkurang. Lalu, siapa yang bertugas mengurus rumah dan anak-anak? Untuk masalah satu ini, pasangan suami-istri harus memutuskannya berdasarkan apa yang terbaik untuk anak-anak. Lupakan dulu ego masing-masing!
Hilangkan pemikiran bahwa tinggal di rumah sama dengan tidak bekerja. "Hilangkan konsep masa lalu bahwa stay at home berarti tidak melakukan apa-apa. Jangan pernah menganggap remeh pekerjaan rumah tangga. Sebab itu adalah pekerjaan yang sangat berat, semuanya dilakukan sejak matahari terbit hingga tenggelam. Pekerjaan rumah tangga itu sangat bernilai tinggi. Tak ada salahnya dengan menjadi bapak rumah tangga, kok." ujar Henny.
Keempat, pengaturan finansial. Saat posisi pekerjaan berada dalam satu level, pengaturan masalah keuangan mungkin tak ada masalah. Tapi, kadangkala konflik muncul ketika gaji istri lebih besar. Tak jarang istri yang merasa penghasilannya lebih besar merasa punya kuasa lebih dalam mengatur keuangan. Nah, hal inilah yang biasanya membuat suami mudah tersinggung.
Untuk mengatasi masalah ini, Henny menyarankan agar masing-masing pasangan membuat pengaturan finansial yang lebih fleksibel. Artinya, aturan ini merupakan hasil kesepakatan bersama. Misalnya, penghasilan keduanya disatukan baru kemudian dibagi sesuai dengan pos-pos pengeluaran yang telah ditentukan.
Kelima, abaikan saja. Karier istri yang lebih cemerlang dari suami, tak jarang menimbulkan suara sumbang dari lingkungan. Lingkungan di sini bisa berarti lingkungan keluarga maupun lingkungan pekerjaan. Apalagi bila suami ternyata lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah.
Di mata Konsultan Perencanaan Keuangan, Safir Senduk, tidak ada masalah jika penghasilan suami lebih rendah dari istri. Justru mereka bisa saling membantu meringankan biaya rumah tangga. Para suami jangan minder, sebaliknya para istri pun jangan mentang-mentang. Semuanya “low profile” saja. Karena kalau istri mulai semena-mena, sikap itu salah dan bisa menjadi masalah.
''Ingat, status kaya atau tidaknya seseorang tidak ditentukan oleh penghasilan, gaji atau kekayaan. Tapi bagaimana mereka bisa menyimpan (menabung) dari penghasilannya,'' kata penulis buku Seri Perencanaan Keuangan Keluarga ini.
2. KONFLIK PENDIDIKAN
Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.
Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multikultural diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik. Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan.
Dengan perintisan model pengajaran multikultural yang dikembangkan oleh Pusat kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, diharapkan siswa akan lebih mengetahui pluralitas dan menghargai keberagaman tersebut.
Hapus Diskriminasi. Sikap menghargai keberagaman, juga harus ditanamkan di sekolah. Sebenarnya, sekolah adalah tempat menghapuskan berbagai jenis prasangka yang bertujuan membuat siswa terkotak-kotak. Sekolah harus bebas diskriminasi.
Untuk menghindari konflik seperti kasus yang pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, sudah saatnya dicarikan solusi preventif yang tepat dan efektif. Salah satunya adalah melalui pendidikan multikultural.
Pada model pendidikan ini, pengenalan dan sosialisasi program pengembangan model pendidikan multikultural dapat dilakukan dengan menggunakan film semi dokumenter. Mengapa? Karena pembelajaran ini menawarkan metodologi dan pendekatan yang berbeda dari model-model pembelajaran konvensional yang selama ini dicekoki ke siswa.
Beberapa pencapaian indikator pembelajaran. Di antaranya, adanya pemahaman dan afeksi siswa tentang nilai-nilai multikultural yang dikembangkan. Misalnya; toleransi, solidaritas, musyawarah, dan pengungkapan diri.
Selain itu, melalui model pembelajaran berbasis multikultural, siswa diperkenalkan dan diajak mengembangkan nilai-nilai dan sikap toleransi, solidaritas, empati, musyawarah, dan egaliter. Dan ini bisa menghambat terjadinya konflik.
Model pembelajaran multikultural ini bisa berhasil, jika kepala sekolah mendukung program ini. Selain itu, para pengajar juga mau menerima pembaruan dan sekolah sudah terbiasa mengembangkan kurikulum sendiri di samping kurikulum dari Departemen Pendidikan Nasional. Sementara, alat lain yang mendukung adalah adanya audio-visual karena ini menjadi penting untuk menyaksikan film-film bertema multikultural.
3. KONFLIK PEMUKIMAN
Menilik kasus-kasus konflik etnis di Kalimantan Barat, ini bukanlah kasus perselisihan warga berbuah kekerasan komunal etnis yang pertama. Jika melihat kebelakang kasus-kasus konflik etnis di Kalbar, kita akan melihat pola kasus etnis yang serupa dan berulang. Meskipun dengan variasi keterlibatan etnis yang berbeda. Tercatat misalnya pada masa Hindia-Belanda ada beberapa kasus konflik yang melibatkan etnis Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Kemudian pada masa setelah kemerdekaan pada tahun 1950’an yang melibatkan etnis Tionghoa dan Melayu. Dan puncaknya memang kasus konflik etnis tahun 1997-1999 yang melibatkan etnis Madura, Melayu, dan Dayak. Konflik etnis yang menelan jiwa hingga ribuan nyawa melayang dan jutaan orang kehilangan tempat tinggal dan hartanya. Sedikit banyak fakta ini menunjukkan bahwa Kalbar memang rawan terhadap potensi-potensi konflik yang bersifat keetnisan.
Dalam konteks Kalbar, pemerintah menganggap konflik telah selesai ketika para pengungsi akibat konflik telah dipindah lokasi pemukiman baru Tebang Kacang. Mereka tidak melihat bahwa perasaan-perasaan curiga, stereotype, dan prasangka antara etnis masih berkembang ditingkat masyarakat Kalbar. Masih adanya penolakan oleh kelompok etnis tertentu kepada kelompok etnis yang lain di Kalbar untuk kembali ke asalnya hingga kini masih terjadi. Permasalahan-permasalahan kejelasan hak para pengungsi dan korban konflik etnis, terutama bagi etnis yang kalah, hingga kini masih buram. Pemerintah daerah tidak mau secara terbuka membicarakan kasus-kasus tersebut secara terbuka. Dilain sisi muncul dugaan bahwa pemerintah daerah mencoba untuk membatasi ruang dialog antar etnis pada isu-isu tertentu karena alasan sensitivitas isu yang ditakutkan akan menganggu stabilitas keamanan.
Salah satu dampak yang timbul ditingkat publik adalah adanya penolakan-penolakan dan keengganan sebagian masyarakat di Kalbar untuk membicarakan isu-isu etnis secara terbuka untuk mencari penyelesaiannya. Atau misalnya penolakan masyarakat Melayu di Sambas yang hingga kini menolak kembalinya masyarakat Madura di wilayah Sambas. Oleh pemerintah sendiri kasus konflik antar sukubangsa ini dinyatakan telah selesai dengan dipindahkannya para pengungsi ke tempat pemukiman baru (Tebang Kacang). Namun, permasalahannya tidak sesederhana itu. Banyak persoalan dilapangan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Seperti misalnya bagaimana hak-hak milik para pengungsi di daerah asal (Sambas) yang telah ditinggalkan dan pemulihan kehidupan mereka dilokasi pengungsian yang menurut mereka lebih menyerupai lokasi pengucilan dari kelompok masyarakat lainnya.
Salah satu kunci membina perdamaian yang berkesinambungan adalah bagaimana membangun kepercayaan yang ada ditingkat grassroot. Dengan membangun kepercayaan yang ada ditingkat grassroot, permasalahan-permasalahan sepele akan dapat segera diselesaikan ditingkat lokal tanpa melibatkan pihak yang diatasnya, masyarakat dapat segera mandiri dapat menyelesaikan konfliknya dengan cara-cara yang tentu saja menjadi kesepakatan umum dan hukum. Kemandirian warga dalam menyelesaikan konfliknya tak lepas dari seberapa berdayanya kekuatan institusi-institusi lokal yang ada di masyarakat lokal dan aliran hukum dapat berfungsi dengan baik.
Membina kepercayaan ditingkat grassroot bukanlah pekerjaan yang mudah, harus mesti dimulai dari hal-hal atau kegiatan yang sederhana, namun dapat menjangkau kelompok etnis yang bersangkutan. Disinilah sesungguhnya harapan yang besar kepada pemerintah untuk bekerja bersama dengan berbagai komponen masyarakat dalam menyelesaikan agenda-agenda perdamaian. Penuntasan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sempat tertunda adalah salah satu upaya untuk memperkuat kepercayaan masyarakat atas niat baik pemerintah pusat untuk mambantu menyelesaikan konflik komunal secara tuntas.
Langkah berikutnya adalah dengan bagaimana visi menjaga perdamaian agar dapat berkesinambungan menjadi mainstream program pembangunan di Kalbar, yang diterjemahkan dalam kebijakan dan operasional program yang sifatnya integrative dan komprehensif. Harus ada ukuran-ukuran yang jelas dan kompeten untuk menunjukkan perdamaian di Kalbar. Sampai dalam tahapan mana perubahan-perubahan telah terjadi. Seperti apa yang disarankan oleh John Paul Lederach(2003) dalam konsepnya tentang Transformasi Konflik (Conflict Transformation) dimana setiap proses untuk mencapai perdamaian yang berkesinambungan sebaiknya dapat menyentuh 4 dimensi perubahan yang signifikan, yaitu dimensi perubahan yang ada tingkat personal, relasional, struktural, dan yang paling ideasional adalah tingkatan kultural, atau perubahan yang ada ditingkat pengetahuan budaya yang menjadi acuan bagi kelompok dalam bertindak.
Jadi, tidak mudah memang karena tidak ada jalan singkat dan instant untuk membangun perdamaian. Perlu kesabaran dan upaya terus-menerus dari kesemua pihak. Semoga insiden Pontianak baru-baru ini menyadarkan kita kembali bahwa perjalanan kita untuk mencapai perdamaian yang berkesinambungan masih jauh dari akhir.
4. KONFLIK PEKERJAAN
Ketika rasa frustasi yang berat membayangi kita, kualitas pekerjaan kita dan keakraban hubungan kita dengan orang lain akan terpengaruh. Kesehatan kita secara fisik maupun emosional juga dapat terganggu. Mungkin kita akan berhenti berolahraga atau menarik diri dari teman-teman dan gereja pada saat kita merasa semakin frustasi atau tertimpa kesedihan. Kerinduan saya karena saya juga pernah mengalaminya adalah memberi wawasan dan pengharapan bagi Anda yang mengalami konflik seperti ini.
Saya ingin Anda tahu bahwa penyelesaian akan masalah pekerjaan ini berkisar pada beberapa hal penting di bawah ini:
- Identifikasi masalah (Apakah ini masalahku atau masalah mereka?),
- Segera menghadapi masalah (Kalau tidak, masalah itu akan semakin
buruk),
- Mengandalkan Allah,
- Tanggung Jawab (Belajar bersikap terbuka, jujur, dan tekun berdoa
bersama orang lain), dan
- Antisipasi (Mengharapkan Allah menolong dan mengarahkan Anda dalam
setiap situasi).
Kita biasanya menganggap bahwa konflik disebabkan oleh seseorang atau sesuatu di luar diri kita. Namun, sering kali kita juga frustasi karena konflik-konflik internal. Sebagai contoh, kita ambil kisah Luke.
Eksternal. Luke mempunyai masalah dalam hubungan dengan rekan sekerja dan bosnya. Saya harus menentukan apakah memang mereka yang salah atau apakah Luke memiliki kelemahan tak disadari yang turut memicu masalah. Kami menemukan kesalahan pada kedua pihak. Luke memiliki beberapa kebiasaan yang sangat menjengkelkan, dan bosnya perlu "pencangkokan kepribadian"! Konflik berkepanjangan dengan orang lain merupakan sumber utama konflik eksternal.
Internal. Luke tidak sanggup memutuskan meninggalkan pekerjaannya. Jadi, ia tetap mendua hati, berada di antara dua pilihan: rasa aman (disertai kebosanan) dan risiko (disertai kegairahan). Kondisi ini merupakan sumber konflik yang sangat besar, dan sikapnya terus memburuk selama beberapa tahun ini. Luke telah membuat komitmen untuk mengikuti Kristus dan hidup sebagai orang Kristen sejak kecil, namun secara perlahan ia menjadi orang Kristen "Minggu-an". Ia merasa terpisah dari Allah karena ia juga semakin dalam terlibat perselingkuhan dengan seorang rekan kerjanya yang sudah menikah, dan ini menambah kekacauan yang sudah ada.
Dalam hidup ini, saya terbiasa menggunakan reaksi "sentakan lutut" (terlalu cepat bereaksi) dan pendekatan "kepala di dalam pasir" (bersembunyi dari masalah) untuk memecahkan konflik dalam pekerjaan. Berharap bahwa jika Anda mengabaikan masalah maka masalah itu akan berlalu adalah hal yang mudah. Reaksi manusiawi semacam ini jarang berhasil. Jarang sekali masalah lenyap dengan sendirinya. Dan, Anda juga tidak dapat mengandalkan orang lain untuk memecahkan masalah Anda. Ketegangan Luke mulai mencair ketika ia menyadari bahwa dirinya bukanlah korban. Selama itu ia justru telah memusatkan diri pada banyak hal yang ia anggap merupakan kesalahan atau tanggung jawab orang lain. Ketika ia mampu menyadari bahwa dirinya punya masalah dalam berkomunikasi dan mulai mengambil langkah-langkah perubahan, ia terkejut menemukan orang lain tiba-tiba lebih mudah bekerja sama dengan dirinya. Tidak, ia tidak dapat menjadi sahabat terbaik untuk bosnya yang sulit itu. Namun, ia mampu menjalin hubungan kerja yang tulus dalam sisa waktunya bekerja di tempat tersebut.
Kita bukanlah pion yang dapat dimanfaatkan oleh situasi atau orang lain. Ada sesuatu yang dapat Anda lakukan untuk memperbaiki situasi kerja Anda yang buruk, meskipun Anda bukan penyebabnya. Dan, sebagai orang Kristen, saya dapat meyakinkan Anda bahwa Allah menghargai orang-orang yang mencari Dia dan menantikan pertolongan-Nya dalam setiap situasi, juga orang-orang yang bersedia melakukan tugas yang harus dikerjakan karena adanya perubahan.
Banyak di antara kita berada dalam jurang penderitaan. Kita terpaksa bertahan dalam konflik karena perubahan terlalu berisiko. Keluar dari jurang itu membutuhkan penyelesaian konflik dan peralihan ke tahap pertumbuhan berikutnya. Itu artinya melepaskan cara berpikir dan bertindak yang lama, dan bertanggung jawab atas kedewasaan diri dan kebutuhan kerja kita.
Saya tidak akan mengatakan bahwa satu jawaban "cocok untuk semuanya". Itu mustahil karena Allah merancang kita secara unik dan kita memiliki pola alamiah yang berbeda dalam menangani konflik, perubahan dan komunikasi. Intinya adalah mempelajari keterampilan baru yang Anda perlukan untuk menolong diri Anda membuat perubahan yang tepat dalam hidup Anda.
5. KONFLIK KEDUDUKAN SOSIO-POLITIK
Secara kuantitatif, Etnik Cina merupakan minoritas di tengah kemajemukan etnik Indonesia . Dari segi tempat tinggal mereka, ada perbedaan pola sebaran antar berbagai pulau di Indonesia . Khusus untuk Jawa dan Madura, persentase terbesar (78,4%) bertempat tinggal di wilayah perkotaan, sedangkan sisanya (21,6%) bertempat tinggal di pedesaan (Coppel, 1983:7). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar Etnik Cina di Jawa dan Madura berkegiatan ekonomi pada sektor perdagangan dan industri perkotaan.
Walaupun demikian, secara kualitatif, persoalan yang dianggap telah ditimbulkan oleh keberadaan Etnik Cina ini tidak bisa disebut kecil. Walaupun telah dikecam karena tidak didasarkan pada temuan penelitian empirik (Wibowo, 2000:XV), beredar pendapat bahwa minoritas Etnik Cina di Indonesia telah menguasai 70 sampai 80 persen perekonomian Indonesia . Begitu dianggap penting persoalan Etnik Cina di Indonesia, sehingga memunculkan suatu isu khusus, yaitu: “Masalah Cina”.
“Masalah Cina” merupakan isu yang hangat dibicarakan dalam masyarakat Indonesia , dan tanpa bisa dihindari, persoalan ini memunculkan sejumlah pertanyaan. Apakah Cina Indonesia harus mempertahankan jati diri kebudayaan mereka sendiri atau harus berintegrasi atau berasimilasi ke dalam kebudayaan Indonesia .
Adanya beberapa bentuk pola hubungan antar etnik. Menurut Persell (1990:235-238), secara teoretik, antagonisme etnik akan mengakibatkan salah satu dari enam jenis hubungan terpola. Masing-masing adalah: asimilasi, pluralisme, perlindungan hukum minoritas, eksklusif atau perpindahan penduduk, penaklukan, atau genocide .
Antagonisme etnik sendiri, dihipotesiskan akan terjadi bila ada sejumlah prasyarat, yaitu:
(1) adanya dua kelompok etnik yang berbeda,
(2) adanya perbedaan praktek budaya dan ciri-ciri fisik kelompok yang bisa dikenali,
(3) adanya persaingan antar kedua kelompok untuk mendapatkan barang-barang atau sumber-sumber yang terbatas, dan
(4) adanya ketimpangan distribusi kekuasaan dan sumberdaya pada kedua kelompok yang bersaing.
Terlepas dari apakah keempat kondisi prasyarat tersebut semuanya terpenuhi atau tidak, kerusuhan antar etnik termasuk terhadap Etnik Cina di Indonesia seolah-olah terus mengikuti dinamika sejarah Indonesia .
Tidak bisa disangkal bahwa kajian tentang etnik Cina di Indonesia sudah banyak dilakukan. Bahkan tak sedikit dari kajian itu yang diterbitkan. Ini menunjukkan bahwa fenomena etnik Cina di Indonesia telah merangsang begitu banyak kajian, baik kajian lapangan maupun kepustakaan. Sementara itu, usaha untuk menentukan letak Etnik Cina dalam masyarakat Jawa selama abad ke dua puluh, dilakukan oleh Rush (1991). Kajian sejarah ini menggunakan sejumlah bahan dokumenter yang relevan untuk mencermati bagaimana para tokoh masyarakat Etnik Cina memerankan diri dalam perubahan-perubahan besar di Jawa. Seperti melanjutkan kajian ini, secara lintas disiplin Witanto (2000) memadukan pendekatan analisis ruang dan perkembangan sejarah masyarakat Cina dan posisi mereka dalam masyarakat Indonesia. Salah satu faktor mendorong munculnya konflik dan kekerasan tersebut adalah morfologi fisik pemukiman. Pola pemukiman yang berubah menjadi model sosio ekonomi yang eksklusif telah menumbuhkan citra negatif sebuah kelompok bermodal. Di lain pihak, kondisi perkotaan yang semakin parah telah memberikan tekanan tersendiri bagi warga kota secara umum. Akibatnya, sentimen etnik terhadap kelompok bermodal yang selama ini tersembunyi, menjadi mengemuka karena kelompok bermodal dianggap tidak terkena dampak krisis ekonomi.
Adanya dua kecenderungan penjelasan terhadap kedudukan Etnik Cina dalam kehidupan ekonomi Indonesia, yaitu:
(1) pendekatan struktural dan kelas, dalam kaitannya dengan penguasa Orba dan militer, dan
(2) pendekatan etnik dan kultural yang memberikan penekanan pada keunggulan motivasi dan ketrampilan usaha Etnik Cina.
Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Walaupun diakui, tidak cukup mewakili, karena hanya mengkaji dua kasus individu seperti Oei Tiong Ham dan Liem Sioe Liong. Mely G. Tan (1991) juga mengemukakan bahwa minat kajian terhadap dimensi sosial dan kultural Etnik Cina juga mendapatkan cukup perhatian. Ini terjadi karena selama Orba , Indonesia menerapkan serangkaian kebijakan untuk meningkatkan pembauran.
Dari sebelas faktor yang berpengaruh terhadap interaksi Cina dan Pribumi, dipadatkan oleh Musianto (1997) menjadi enam faktor, yaitu: nenek moyang atau keturunan, kepribadian atau mentalitas, pendidikan, status, sosial ekonomi dan keagamaan.
Terakhir, ada dua kajian yang menganalisis kasus-kasus kekerasan dan kerusuhan terhadap Etnik Cina. Pertama , karya Abdul Baqir Zein (2000) yang melakukan rekonstruksi dan analisis dampak kerusuhan berdasar sejumlah berita dan pendapat banyak orang sebagaimana dimuat dalam surat kabar dan majalah. Kedua , analisis terhadap kasus kerusuhan 13-15 Mei 1998 oleh Pattiradjawane (2000:213). Kasus yang oleh penulisnya disebut sebagai titik terendah sejarah orang Etnik Cina di Indonesia ini, ternyata masih menimbulkan silang pendapat. Ada yang berpendapat bahwa kerusuhan tersebut tidak memiliki kaitan langsung dengan gerakan anti Cina. Di sisi lain, ada yang meragukan bahwa kerusuhan tersebut sama sekali tidak mengandung sentimen rasial. Sebab, walaupun tidak ada fakta yang independen mengenai apa yang menimpa orang-orang keturunan Cina, banyaknya orang keturunan Cina yang dijadikan sasaran perusakan, pembakaran, penjarahan dan perkosaan, cukup menjadi bukti adanya suatu bentuk diskriminasi rasial untuk menjadikan orang-orang keturunan Cina traumatik. Dalam kerusuhan itu, seseorang diperkosa bukan karena dia perempuan, tapi karena dia adalah orang keturunan Cina.
Telah dikemukakan, bahwa bagian terbesar Etnik Cina, khususnya di Jawa dan Madura, tinggal di wilayah perkotaan. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah ketegangan sosial yang melibatkan etnik keturunan Cina hanya terjadi di perkotaan? Bagaimana dampak sosialnya bila persaingan ekonomi yang melibatkan etnik keturunan cina berlangsung di pedesaan? Bagaimana pula pola hubungan antara etnik keturunan Cina Etnik Jawa di pedesaan?
Kalau setiap pertikaian selalu melibatkan persaingan, maka tidak semua kasus persaingan melibatkan pertikaian. Walaupun tidak jarang diliputi oleh ketegangan sosial, pola interaksi persaingan memberikan kecakapan khususnya dalam meningkatkan daya saing. Daya saing ini dicapai melaluli peningkatan efisiensi, produktivitas, dan kualitas produk pertanian yang mereka hasilkan.
Dinamika hubungan antar etnik ini dipandang menyerupai model dialektika Simmel, karena setiap pola hubungan baru merupakan akibat dialektika interaksi satu pihak dengan pihak lain. Dialektika itu sendiri, membentuk pola hubungan yang berubah dari pola penguasaan, menjadi kerjasama, persaingan, dan akhirnya pertikaian. Sekaligus tampak pula, bahwa hubungan antar etnik memiliki akibat lebih fungsional bila berlangsung mengikuti pola kerjasama dan persaingan. Sedangkan pola hubungan penguasaan dan persaingan cenderung disfungsional terhadap sistem sosial ekonomi. Akan halnya kepentingan sejati di balik konflik agama dan etnik, sebenarnya mengikuti pemikiran Marxian, yaitu: materi.
Dalam rangka mengurangi konflik yang terus terjadi antara etnis Cina dan lainnya diperlukan kebijakan Negara yang lebih melindungi warga minoritas. Walaupun telah banyak berbagai macam kebijakan politik dan hukum, namun kenyataannya konflik ini terus terjadi. Situasi yang demikian akan mengurangi minat kelompok etnis Cina untuk melakukan kegiatan bisnis, padahal mereka merupakan potensi yang selama ini belum bisa diganti. Disamping itu, apapun yang terjadi pada kelompok minoritas Cina di Indonesia, pemerintah RRC tidak akan tinggal diam dan hal ini sangat mengancam stabilitas Negara Indonesia yang sudah sangat terpuruk ini.
III. PENUTUP
Negara-bangsa yang majemuk memang akan dihadapkan pada instabilitas, bahkan kecenderungan disintegrasi, tetapi bila perbedaan vertikal itu sekaligus
pula diikuti dengan akses, kontrol, dan distribusi sumber daya ekonomi yang
timpang serta sektor politik yang tidak partisipatif bagi semua kelompok.
Dalam situasi yang senjang secara ekonomi dan politik bisa saja orang-orang
yang melihat jalan kehidupannya relatif tertutup, untuk meraih kedudukan
yang diinginkan mereka berusaha mengerahkan kelompoknya. Untuk keperluan
mobilisasi tersebut mereka cenderung memanfaatkan loyalitas tradisionalnya,
yaitu melalui ikatan primordialnya.
Demikian pula, kelompok yang diuntungkan oleh situasi yang timpang berupaya mengerahkan loyalitas tradisionalnya untuk mempertahankan kedudukan mereka. Namun demikian, potensi konflik itu tidak akan manifes bila prasyarat-prasyarat tertentu dipenuhi.
Pertama, negara Indonesia demokratis, yang artinya semua kelompok etnik, agama, ras, mayoritas maupun minoritas memiliki perwakilan dalam institusi politik yang bisa menyalurkan aspirasi dan kepentingan mereka.
Kedua, hubungan-hubungan di antara kelompok-kelompok yang berbeda tersebut dikendalikan melalui prinsip-prinsip hukum yang obyektif. Dengan perkataan lain, tegaknya supremasi hukum dan hukum tidak memihak pada kelompok tertentu, tetapi mengatasi semua kelompok tanpa kecuali.
Ketiga, adanya distribusi pendapatan yang relatif merata antar kelompok,
artinya ketimpangan sosial-ekonomi tidak begitu senjang antar kelompok dan
daerah.
Masyarakat Belgia, Swiss, dan Kanada termasuk dalam kategori masyarakat majemuk, tetapi heterogenitas masyarakat ini tidak menjadi persoalan besar dalam proses integrasi nasional. Tidak terjadi konflik terbuka antar kelompok masyarakat dan negara selalu dalam keadaan stabil. Itu
dimungkinkan karena, di ketiga negara bersangkutan sistem demokrasi,
supremasi hukum, dan distribusi pendapatan yang relatif merata berjalan
dengan baik. Mungkin kita bisa belajar kepada mereka, bagaimana mengelola
masyarakat majemuk dengan tetap menjaga kemajemukan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.mail-archive.com/i-kan-konsel@xc.org/msg00005.html
http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=3197
http://prasetijo.wordpress.com/2007/12/09/mencermati-kasus-konflik-etnis-di-kalimantan-barat-tantangan-untuk-mempertahankan-perdamaian-berkesinambungan/
http://elka.umm.ac.id/artikel6.htm
http://www.i-comers.com/family-relationships-articles/6415-ketika-penghasilan-isteri-lebih-besar.html
PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21
BAB I
PENDAHULUAN
Penghasilan adalah tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama atau bentuk apapun .
Ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan tahun 2000 mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan.
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa dan kegiatan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Dasar PPh Pasal 21
Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak (Pasal 1 UU No. 17 Tahun 2000).
Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam Negeri orang pribadi yang disingkat PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan orang pribadi.
2. Subjek PPh Pasal 21
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 terdiri dari pegawai tetap, pegawai lepas, penerima pensiun, penerima honorarium dan penerima upah.
a. pegawai tetap adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk di dalamnya adalah anggota Dewan Komisaris dan anggota Dewan Pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung.
b. Pegawai lepas adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang ahanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja.]
c. Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan dimasa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua.
d. Penerima honorarium adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan atau kegiatan yang dilakukannya.
e. Penerima upah adalah orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, atau upah satuan.
3. Pengecualian Subjek Pajak
Penerima penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21 adalah;
1) pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat;
- bukan warga Negara Indonesia dan
- tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia
2) pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat;
- bukan Warga Negara Indonesia
- tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
4. Objek PPh Pasal 21
Menurut Keputusan Dirjen Pajak Nomor 545/PJ./2000, yang dimaksud dengan objek PPh pasal 21 adalah penghasilan yang dipotong oleh pemotong pajak untuk dikenakan PPh Pasal 21.
Yang termasuk objek PPh Pasal 21 adalah;
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pension bulanan, upah, honorarim (termasuk honorarium anggota Dewan Komisaris atau Anggota Dewan Pengawas), premi bulanan, uang lembur, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan jabatan, tujangan transport, tunjangan pajak dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun.
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa produksi, gratifikasi, tunjangan cuti, tantiem, THR, tunjangan tahun barau, bonus, premi tahunan dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap.
c. Upah harian, upah mingguan, upah satuan dan upah borongan.
d. Uang tebusan pension, uang pesangon, Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua (JHT) dan pembayaran lain sejenis.
e. Honorarium, uang saku, hadiah, atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri.
f. Gaji, tunjangan-tunjangan lain yang terkait gaji yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, serta uang pension dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-anaknya.
g. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final dan yang dikenakan PPh berdasarkan Norma Perhitungan Khusus (deemed profit).
5. Pengecualian Objek PPh Pasal 21
Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21, adalah;
1) pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa.
2) Penerima dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali natura dan kenikmatan dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan WP
3) Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.
4) Penerima dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh Pemerintah.
5) Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja, dan
6) Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga Amil Zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
6. Penghasilan Tidak Kena Pajak
Besarnya PKP dari seorang pegawai dihitung berdasarkan penghasilan netonya dikurangi dengan PTKP yang jumlahnya adalah sebagai berikut:
a. untuk diri pegawai sebesar Rp 13.200.000,00 (tiga belas juta dua ratus ribu rupiah) setahun
b. tambahan untuk pegawai yang kawin sebesar Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) setahun
c. tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 2 orang sebesar Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) setahun per orang.
Untuk karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri dan dalam hal tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
Dalam hal karyawati yang menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat (serendah-rendahnya Kecamatan) bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, diberikan tambahan PTKP sejumlah Rp 1.200.000,00 setahun atau Rp 120.000,00 sebulan dan ditambah PTKP untuk keluarganya.
7. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Pasal 21
Hak an kewajiban WP PPh Pasal 21, adalah sebagai berikut;
1) WP berhak meminta bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada pemotong pajak. Jumlah PPh yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan dri pajak penghasilan yang terutang pada tahun yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.
2) WP berhak mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak jika PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemotong pajak tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pengajuan surat keberatan ini dilakukan dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang dipotong menurut perhitungan WP dengan disertai alasan-alasan yang jelas. Pengajuan surat keberatan ini dapat dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan setelah tanggal pemotongan, kecuali WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
3) WP berhak mengajukan permohonan banding dengan alasan yang jelas kepada Badan Penyelesaian sengketa Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak. Permohonan banding ini diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan diterima, dilampiri dengan salinan surat keputusan tersebut. apabila badan peradilan pajak belum terbentuk, maka permohonan banding dapat diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
8. Pemotong PPh Pasal 21
Berikut ini termasuk pemotong PPh Pasal 21;
Pemberi kerja, terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan induk maupun cabang, perwakilan atau unit, bentuk usaha tetap yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai.
Bendaharawan pemerintah yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan.
Dana pension PT. Taspen, PT. Jamsostek, badan penyelengara jaminan sosial tenaga kerja lainnya, serta badan-badan lain yang membayar uang pension, Tabunga Hari Tua.
Perusahaan Badan dan Bentuk Usaha Tetap yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehingga dengan kegiatan dan jasa, termasuk jasa tenaga ahli dengan status Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas.
Perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak Luar Negeri.
Yayasan (termasuk yang bergerak di bidang kesejahteraan, rumah sakit, pendidikan, kesenian, olahraga, kebudayaan), lembaga, kepanitiaan, perkumpulan, organisasi.
Perusahaan, badan dan bentuk usaha tetap yang membayarkan honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatiha, dan pemagangan.
Penyelenggara kegiatan (termasuk badan pemerintah organisasi) yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.
9. Hak dan Kewajiban Pemotong
a. Hak-hak pemotong PPh Pasal 21, adalah;
1) pemotong pajak berhak menagjukan pemohonan memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pasal 21,
2) pemotong pajak berhak memperhitungkan kelebihan setoran PPh Pasal 21 dalam satu bulan takwim dengan PPh Pasal 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan,
3) pemotong pajak berhak memperhitungkan kelebihan setoran pada SPT Tahunan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukan perhitungan tahunan
4) pemotong berhak membetulkan SPT sendiri, dengan syarat Dirjen Pajak belum melakukan pemeriksaan,
5) pemotong berhak mengajukan surat keberatan kepada Dirjen Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).
6) Pemotong pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis kepada Badan Peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan Dirjen Pajak.
b. Kewajiban jpemotong PPh Pasal 21, adalah;
1) pemotong pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
2) Pemotong pajak wajib mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban
3) Pemotong pajak wajib menghitung, memotong dan menyetor PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan takwim.
4) Pemotong pajak wajib melaporkan penyetoran PPh Pasal 21 dan sekalipun Nihil dengan menggunakan SPT Masa.
5) Wajib pajak pemotong pajak wajib memberikan bukti PPh Pasal 21
6) Pemotong pajak wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 tahunan kepada Pegawai tetap.
7) Pemotong pajak wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan untuk masing-masing penerima penghasilan
8) Dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir, pemotong pajak wajib menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang.
9) Pemotong pajak wajib mengisi, menandatangani dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak.
10) Pemotong pajak wajib melampiri SPT Tahunan PPh Pasal 21 dengan lampiran-lampiran yang ditentukan dalam petunjuk pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21
11) Pemotong pajak wajib menyetor kekurangan PPh Pasal 21 yang terutang apabila jumlah PPh Pasal 21 yang terutang lebih besar daripada PPh Pasal 21 yang disetor dalam suatu tahun takwim.
10. Tarif Pajak dan Penerapannya
Tarif pajak yang berlaku beserta penerapannya menurut ketentuan dalam Pasal 21 UU PPh adalah sebagai berikut;
a. tarif berdasarkan Pasal 17 UU PPh, ditetapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari;
1) pegawai tetap
2) penerima pension yang dibayarkan secara bulanan
3) pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pegawai yang dibayarkan secara bulanan
4) distributor perusahaan multilevel marketing.
Penghasilan Kena Pajak dihitung sebesar;
1) bagi pegawai tetap adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi dengan:
- biaya jabatan,
- iuran pension yang dibayar sendiri oleh pegawai
- penghasilan tidak kena pajak (PTKP)
2) bagi penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan adlah sebesar penghasilan bruto dikurangi dengan;
- biaya pension,
- PTKP.
3) bagi pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pegawai yang dibayarkan secara bulanan adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP.
4) Bagi distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya adalah penghasilan bruto setiap bulan dikurangi dengan PTKP per bulan
PPh Pasal 21 = Penghasilan Kena Pajak x Tarif Pajak Pasal 17 UU PPh
b. tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas penghasilan bruto, berupa;
1) honorarium, uang saku, hadiah, atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa dan pembayaran lain yang jumlahnya dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan yang diberikan atau diterima atau diperoleh dalam satu bulan takwim.
2) Honorarium yang diterima atau diperoleh anggota Dewan Komisaris atau Dewan Pengurus yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama selama 1 tahun takwim.
3) Jasa produksi, gratifikasi, bonus yang diterima atau diperoleh mantan pegawai selama satu tahun takwim.
4) Penarikan dana pada dana pension yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, oleh peserta program pension sebelum memasuki masa pension yang diterima atau diperoleh selama satu tahun takwim.
PPh Pasal 21 = Penghasilan Bruto x Tarif Pasal 17 UU PPh
c. tarif sebesar 15%, diterapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaries, penilai).
Besarnya perkiraan penghasilan neto adalah 50% dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.
PPh Pasal 21 = Penghasilan Bruto x Tarif Pasal 17 UU PPh
d. tarif sebesar 5% diterapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp 110.000,00 sehari tetapi tidak melebihi Rp 1.100.000,00 dalam satu bulan takwim dan atau tidak dibayarkan secara bulanan.
PPh Pasal 21 sehari = (Penghasilan Bruto Sehari – Rp 110.000,00) x 5%
11. Tarif PPh Pasal 21 yang bersifat final
Untuk beberapa jenis penghasilan akan dikenakan PPh Pasal 21 yang bersifat final. Besarnya tarif dan penghasilan tersebut adalah;
1) atas uang pesangon, uang tebusan pensiun yang dibayar oleh dana pensiun yang dibayar oleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan Tunjangan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara Pensiun atau Penyelenggara Jamsostek dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut:
atas jumlah penghasilan bruto sebesar Rp 25.000.000,00 atau kurang, tidak dikenakan pajak penghasilan,
atas jumlah di atas, diatur dengan ketentuan.
Lapisan Penghasilan Bruto Tarif Pajak
Di atas Rp 25.000.000,00 – Rp 50.000.000,00
Di atas Rp 50.000.000,00 – Rp 100.000.000,00
Di atas Rp 100.000.000,00 – Rp 200.000.000,00
Di atas Rp 200.000.000,00 5%
10%
15%
25%
2) tarif sebesar 15% dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto berupa honorarium yang diterima oleh pejabat Negara, PNS dan anggota TNI/POLRI yang sumber dananya berasal dari Keuangan Negara kecuali yang dibayarkan kepada PNS Golongan IId kebawah dan anggota TNI/POLRI berpangkat pembantu Letnan Satu kebawah atau Ajudan Inspektur tingkat 1 ke bawah.
PPh Pasal 21 Final = Penghasilan Bruto x 15%
12. Cara menghitung PPh pasal 21
Tata cara menghitung PPh Pasal 21 bagi pegawai tetap yang memperoleh gaji bulanan adalah sebagai berikut;
a. ditentukan penghasilan bruto secara bulanan yan terdiri dari gaji tetap ditambah dengan tunjangan lainnya.
b. Setelah diperoleh penghasilan bruto, maka untuk menghitung penghasilan neto, penghasilan bruto tersebut dikurangi dengan potongan-potongan yang diperkenankan.
c. Setelah diperoleh penghasilan neto sebulan, maka untuk memperoleh penghasilan neto setahun, penghasilan neto sebulan dikalikan dengan jumlah bulan dalam 1 tahun takwim atau jumlah bulan dalam bagian tahun pajak.
d. Setelah diperoleh penghasilan neto setahun maka dikurangi dengan PTKP sehingga diperoleh PKP.
e. PKP dikalikan dengan tarif PPh Pasal 17 untuk menghasilkan Pajak Terutang satu tahun
f. PPh Pasal 21 sebulan diperoleh dengan membagi pajak terutang 1 tahun dengan jumlah bulan dalam satu tahun.
Cara perhitungan PPh Pasal 21 atas uang pension bulanan yang diterima atau diperoleh penerima pension pada tahun pertama pensiun adalah;
a. dicari penghasilan neto dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan biaya pensiun kemudian dikalikan banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan menerima pensiun sampai dengan Desember.
b. Penghasilan neto yang telah disetahunkan tersebut ditambah dengan penghasilan neto dalam tahun yang bersangkutan yang diterima dari pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun.
c. Setelah diperoleh penghasilan neto, maka penghasilan kena pajak dihitung dengan mengurangi penghasilan neto dengan PTKP, dan selanjutnya dihitung PPh Pasal 21
d. PPh Pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun yang bersangkutan dihitung dengan cara mengurangi PPh Pasal 21 pada huruf c diatas dengan PPh Pasal 21 yang terutang dari pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan memasuki pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun.
e. PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan adalah sebesar PPh Pasal 21 seperti disebutkan pada huruf d di atas dibagi dengan banyaknya bulan seperti yang dimaksud pada huruf a.
Sedangkan penghitungan PPh Pasal 21 untuk tahun kedua dan seterusnya adalah:
a. dicari penghasilan neto, yakni pengurangan penghasilan bruto dengan biaya pensiun, kemudian dikurangi dengan PTKP untuk menghasilkan PKP
b. PPh Pasal 21 terutang sama dengan PKP dikalikan tariff PPh Pasal 17 dan PPh Pasal 21 sebulan sama dengan PPh terutang setahun dibagi dengan 12.
13. Contoh Perhitungan Pasal 21
Berikut ini adalah contoh perhitungan PPh Pasal 21;
Contoh perhitungan PPh Pasal 21 terhadap penghasilan pegawai tetap dengan gaji bulanan;
Hasan bekerja pada perusahaan PT ABC dengan memperoleh gaji sebulan Rp.2.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp.50.000,00. hasan menikah dan mempunyai 1 anak.
Perhitungan PPh Pasal 21:
Gaji sebulan Rp 2.000.000,00
Pengurangan:
1. Biaya Jabatan:
5%xRp 2.000.000,00 Rp 100.000,00
2. Iuran Pensiun Rp 50.000,00
Rp 150.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 1.850.000,00
Penghasilan neto setahun adalah
12 x Rp 1.850.000,00 Rp22.200.000,00
3. PTKP setahun
Untuk WP sendiri Rp 13.200.000,00
Tambahan WP Kawin Rp 1.200.000,00
Tambahan 1 anak Rp 1.200.000,00
Rp15.600.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 6.600.000,00
PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp 6.600.000,00 = Rp 330.000,00
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp 330.000,00 : 12 = Rp 27.500,00
Catatan;
Biaya jabatan adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.
BAB III
PENUTUP
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan/jabatan, jasa, dan kegiatan. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 terdiri dari pegawai tetap, pegawai lepas, penerima pensiun, penerima honorarium dan penerima upah. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur maupun penghasilan yang diterima secara tidak teratur. Penghasilan yang diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan teratur, beasiswa, hadiah, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun. Pengenaan PPh Pasal 21 bersifat pemotongan. Pemotongan yang dimaksud adalah ketika pegawai menerima gaji atau upah maka gaji atau upah yang diterima tidak lagi utuh tetapi sudah dipotong dengan PPh Pasal 21. pemotong pajak untuk PPh Pasal 21 yang biasa disebut sebagai pemotong pajak terdiri dari pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dan pensiun, badan dan yayasan.
DAFTAR PUSTAKA
Mardiasmo, MBA, Ak, 2006, Perpajakan, Yogyakarta, Andi Yogyakarta.
Diana, Anastasya, SE, Ak dan Lilis Setiawati, 2004, Perpajakan Indonesia, Andi Yogyakarta.
Supramono, Prof, SE, MBA, DBA dan Theresia Woro Damayanti, SE, 2005, Perpajakan Indonesia, Andi Yogyakarta.
Tjahjono Achmad dan Mahagiyani, 2001, 2001, Perpajakan Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Jakarta.
PENDAHULUAN
Penghasilan adalah tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama atau bentuk apapun .
Ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan tahun 2000 mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan.
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa dan kegiatan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Dasar PPh Pasal 21
Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak (Pasal 1 UU No. 17 Tahun 2000).
Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam Negeri orang pribadi yang disingkat PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan orang pribadi.
2. Subjek PPh Pasal 21
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 terdiri dari pegawai tetap, pegawai lepas, penerima pensiun, penerima honorarium dan penerima upah.
a. pegawai tetap adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk di dalamnya adalah anggota Dewan Komisaris dan anggota Dewan Pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung.
b. Pegawai lepas adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang ahanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja.]
c. Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan dimasa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua.
d. Penerima honorarium adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan atau kegiatan yang dilakukannya.
e. Penerima upah adalah orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, atau upah satuan.
3. Pengecualian Subjek Pajak
Penerima penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21 adalah;
1) pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat;
- bukan warga Negara Indonesia dan
- tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia
2) pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat;
- bukan Warga Negara Indonesia
- tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
4. Objek PPh Pasal 21
Menurut Keputusan Dirjen Pajak Nomor 545/PJ./2000, yang dimaksud dengan objek PPh pasal 21 adalah penghasilan yang dipotong oleh pemotong pajak untuk dikenakan PPh Pasal 21.
Yang termasuk objek PPh Pasal 21 adalah;
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pension bulanan, upah, honorarim (termasuk honorarium anggota Dewan Komisaris atau Anggota Dewan Pengawas), premi bulanan, uang lembur, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan jabatan, tujangan transport, tunjangan pajak dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun.
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa produksi, gratifikasi, tunjangan cuti, tantiem, THR, tunjangan tahun barau, bonus, premi tahunan dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap.
c. Upah harian, upah mingguan, upah satuan dan upah borongan.
d. Uang tebusan pension, uang pesangon, Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua (JHT) dan pembayaran lain sejenis.
e. Honorarium, uang saku, hadiah, atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri.
f. Gaji, tunjangan-tunjangan lain yang terkait gaji yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, serta uang pension dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-anaknya.
g. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final dan yang dikenakan PPh berdasarkan Norma Perhitungan Khusus (deemed profit).
5. Pengecualian Objek PPh Pasal 21
Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21, adalah;
1) pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa.
2) Penerima dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali natura dan kenikmatan dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan WP
3) Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.
4) Penerima dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh Pemerintah.
5) Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja, dan
6) Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga Amil Zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
6. Penghasilan Tidak Kena Pajak
Besarnya PKP dari seorang pegawai dihitung berdasarkan penghasilan netonya dikurangi dengan PTKP yang jumlahnya adalah sebagai berikut:
a. untuk diri pegawai sebesar Rp 13.200.000,00 (tiga belas juta dua ratus ribu rupiah) setahun
b. tambahan untuk pegawai yang kawin sebesar Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) setahun
c. tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 2 orang sebesar Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) setahun per orang.
Untuk karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri dan dalam hal tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
Dalam hal karyawati yang menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat (serendah-rendahnya Kecamatan) bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, diberikan tambahan PTKP sejumlah Rp 1.200.000,00 setahun atau Rp 120.000,00 sebulan dan ditambah PTKP untuk keluarganya.
7. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Pasal 21
Hak an kewajiban WP PPh Pasal 21, adalah sebagai berikut;
1) WP berhak meminta bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada pemotong pajak. Jumlah PPh yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan dri pajak penghasilan yang terutang pada tahun yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.
2) WP berhak mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak jika PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemotong pajak tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pengajuan surat keberatan ini dilakukan dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang dipotong menurut perhitungan WP dengan disertai alasan-alasan yang jelas. Pengajuan surat keberatan ini dapat dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan setelah tanggal pemotongan, kecuali WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
3) WP berhak mengajukan permohonan banding dengan alasan yang jelas kepada Badan Penyelesaian sengketa Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak. Permohonan banding ini diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan diterima, dilampiri dengan salinan surat keputusan tersebut. apabila badan peradilan pajak belum terbentuk, maka permohonan banding dapat diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
8. Pemotong PPh Pasal 21
Berikut ini termasuk pemotong PPh Pasal 21;
Pemberi kerja, terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan induk maupun cabang, perwakilan atau unit, bentuk usaha tetap yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai.
Bendaharawan pemerintah yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan.
Dana pension PT. Taspen, PT. Jamsostek, badan penyelengara jaminan sosial tenaga kerja lainnya, serta badan-badan lain yang membayar uang pension, Tabunga Hari Tua.
Perusahaan Badan dan Bentuk Usaha Tetap yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehingga dengan kegiatan dan jasa, termasuk jasa tenaga ahli dengan status Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas.
Perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak Luar Negeri.
Yayasan (termasuk yang bergerak di bidang kesejahteraan, rumah sakit, pendidikan, kesenian, olahraga, kebudayaan), lembaga, kepanitiaan, perkumpulan, organisasi.
Perusahaan, badan dan bentuk usaha tetap yang membayarkan honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatiha, dan pemagangan.
Penyelenggara kegiatan (termasuk badan pemerintah organisasi) yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.
9. Hak dan Kewajiban Pemotong
a. Hak-hak pemotong PPh Pasal 21, adalah;
1) pemotong pajak berhak menagjukan pemohonan memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pasal 21,
2) pemotong pajak berhak memperhitungkan kelebihan setoran PPh Pasal 21 dalam satu bulan takwim dengan PPh Pasal 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan,
3) pemotong pajak berhak memperhitungkan kelebihan setoran pada SPT Tahunan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukan perhitungan tahunan
4) pemotong berhak membetulkan SPT sendiri, dengan syarat Dirjen Pajak belum melakukan pemeriksaan,
5) pemotong berhak mengajukan surat keberatan kepada Dirjen Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).
6) Pemotong pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis kepada Badan Peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan Dirjen Pajak.
b. Kewajiban jpemotong PPh Pasal 21, adalah;
1) pemotong pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
2) Pemotong pajak wajib mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban
3) Pemotong pajak wajib menghitung, memotong dan menyetor PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan takwim.
4) Pemotong pajak wajib melaporkan penyetoran PPh Pasal 21 dan sekalipun Nihil dengan menggunakan SPT Masa.
5) Wajib pajak pemotong pajak wajib memberikan bukti PPh Pasal 21
6) Pemotong pajak wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 tahunan kepada Pegawai tetap.
7) Pemotong pajak wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan untuk masing-masing penerima penghasilan
8) Dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir, pemotong pajak wajib menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang.
9) Pemotong pajak wajib mengisi, menandatangani dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak.
10) Pemotong pajak wajib melampiri SPT Tahunan PPh Pasal 21 dengan lampiran-lampiran yang ditentukan dalam petunjuk pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21
11) Pemotong pajak wajib menyetor kekurangan PPh Pasal 21 yang terutang apabila jumlah PPh Pasal 21 yang terutang lebih besar daripada PPh Pasal 21 yang disetor dalam suatu tahun takwim.
10. Tarif Pajak dan Penerapannya
Tarif pajak yang berlaku beserta penerapannya menurut ketentuan dalam Pasal 21 UU PPh adalah sebagai berikut;
a. tarif berdasarkan Pasal 17 UU PPh, ditetapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari;
1) pegawai tetap
2) penerima pension yang dibayarkan secara bulanan
3) pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pegawai yang dibayarkan secara bulanan
4) distributor perusahaan multilevel marketing.
Penghasilan Kena Pajak dihitung sebesar;
1) bagi pegawai tetap adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi dengan:
- biaya jabatan,
- iuran pension yang dibayar sendiri oleh pegawai
- penghasilan tidak kena pajak (PTKP)
2) bagi penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan adlah sebesar penghasilan bruto dikurangi dengan;
- biaya pension,
- PTKP.
3) bagi pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pegawai yang dibayarkan secara bulanan adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP.
4) Bagi distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya adalah penghasilan bruto setiap bulan dikurangi dengan PTKP per bulan
PPh Pasal 21 = Penghasilan Kena Pajak x Tarif Pajak Pasal 17 UU PPh
b. tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas penghasilan bruto, berupa;
1) honorarium, uang saku, hadiah, atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa dan pembayaran lain yang jumlahnya dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan yang diberikan atau diterima atau diperoleh dalam satu bulan takwim.
2) Honorarium yang diterima atau diperoleh anggota Dewan Komisaris atau Dewan Pengurus yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama selama 1 tahun takwim.
3) Jasa produksi, gratifikasi, bonus yang diterima atau diperoleh mantan pegawai selama satu tahun takwim.
4) Penarikan dana pada dana pension yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, oleh peserta program pension sebelum memasuki masa pension yang diterima atau diperoleh selama satu tahun takwim.
PPh Pasal 21 = Penghasilan Bruto x Tarif Pasal 17 UU PPh
c. tarif sebesar 15%, diterapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaries, penilai).
Besarnya perkiraan penghasilan neto adalah 50% dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.
PPh Pasal 21 = Penghasilan Bruto x Tarif Pasal 17 UU PPh
d. tarif sebesar 5% diterapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp 110.000,00 sehari tetapi tidak melebihi Rp 1.100.000,00 dalam satu bulan takwim dan atau tidak dibayarkan secara bulanan.
PPh Pasal 21 sehari = (Penghasilan Bruto Sehari – Rp 110.000,00) x 5%
11. Tarif PPh Pasal 21 yang bersifat final
Untuk beberapa jenis penghasilan akan dikenakan PPh Pasal 21 yang bersifat final. Besarnya tarif dan penghasilan tersebut adalah;
1) atas uang pesangon, uang tebusan pensiun yang dibayar oleh dana pensiun yang dibayar oleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan Tunjangan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara Pensiun atau Penyelenggara Jamsostek dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut:
atas jumlah penghasilan bruto sebesar Rp 25.000.000,00 atau kurang, tidak dikenakan pajak penghasilan,
atas jumlah di atas, diatur dengan ketentuan.
Lapisan Penghasilan Bruto Tarif Pajak
Di atas Rp 25.000.000,00 – Rp 50.000.000,00
Di atas Rp 50.000.000,00 – Rp 100.000.000,00
Di atas Rp 100.000.000,00 – Rp 200.000.000,00
Di atas Rp 200.000.000,00 5%
10%
15%
25%
2) tarif sebesar 15% dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto berupa honorarium yang diterima oleh pejabat Negara, PNS dan anggota TNI/POLRI yang sumber dananya berasal dari Keuangan Negara kecuali yang dibayarkan kepada PNS Golongan IId kebawah dan anggota TNI/POLRI berpangkat pembantu Letnan Satu kebawah atau Ajudan Inspektur tingkat 1 ke bawah.
PPh Pasal 21 Final = Penghasilan Bruto x 15%
12. Cara menghitung PPh pasal 21
Tata cara menghitung PPh Pasal 21 bagi pegawai tetap yang memperoleh gaji bulanan adalah sebagai berikut;
a. ditentukan penghasilan bruto secara bulanan yan terdiri dari gaji tetap ditambah dengan tunjangan lainnya.
b. Setelah diperoleh penghasilan bruto, maka untuk menghitung penghasilan neto, penghasilan bruto tersebut dikurangi dengan potongan-potongan yang diperkenankan.
c. Setelah diperoleh penghasilan neto sebulan, maka untuk memperoleh penghasilan neto setahun, penghasilan neto sebulan dikalikan dengan jumlah bulan dalam 1 tahun takwim atau jumlah bulan dalam bagian tahun pajak.
d. Setelah diperoleh penghasilan neto setahun maka dikurangi dengan PTKP sehingga diperoleh PKP.
e. PKP dikalikan dengan tarif PPh Pasal 17 untuk menghasilkan Pajak Terutang satu tahun
f. PPh Pasal 21 sebulan diperoleh dengan membagi pajak terutang 1 tahun dengan jumlah bulan dalam satu tahun.
Cara perhitungan PPh Pasal 21 atas uang pension bulanan yang diterima atau diperoleh penerima pension pada tahun pertama pensiun adalah;
a. dicari penghasilan neto dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan biaya pensiun kemudian dikalikan banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan menerima pensiun sampai dengan Desember.
b. Penghasilan neto yang telah disetahunkan tersebut ditambah dengan penghasilan neto dalam tahun yang bersangkutan yang diterima dari pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun.
c. Setelah diperoleh penghasilan neto, maka penghasilan kena pajak dihitung dengan mengurangi penghasilan neto dengan PTKP, dan selanjutnya dihitung PPh Pasal 21
d. PPh Pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun yang bersangkutan dihitung dengan cara mengurangi PPh Pasal 21 pada huruf c diatas dengan PPh Pasal 21 yang terutang dari pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan memasuki pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun.
e. PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan adalah sebesar PPh Pasal 21 seperti disebutkan pada huruf d di atas dibagi dengan banyaknya bulan seperti yang dimaksud pada huruf a.
Sedangkan penghitungan PPh Pasal 21 untuk tahun kedua dan seterusnya adalah:
a. dicari penghasilan neto, yakni pengurangan penghasilan bruto dengan biaya pensiun, kemudian dikurangi dengan PTKP untuk menghasilkan PKP
b. PPh Pasal 21 terutang sama dengan PKP dikalikan tariff PPh Pasal 17 dan PPh Pasal 21 sebulan sama dengan PPh terutang setahun dibagi dengan 12.
13. Contoh Perhitungan Pasal 21
Berikut ini adalah contoh perhitungan PPh Pasal 21;
Contoh perhitungan PPh Pasal 21 terhadap penghasilan pegawai tetap dengan gaji bulanan;
Hasan bekerja pada perusahaan PT ABC dengan memperoleh gaji sebulan Rp.2.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp.50.000,00. hasan menikah dan mempunyai 1 anak.
Perhitungan PPh Pasal 21:
Gaji sebulan Rp 2.000.000,00
Pengurangan:
1. Biaya Jabatan:
5%xRp 2.000.000,00 Rp 100.000,00
2. Iuran Pensiun Rp 50.000,00
Rp 150.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 1.850.000,00
Penghasilan neto setahun adalah
12 x Rp 1.850.000,00 Rp22.200.000,00
3. PTKP setahun
Untuk WP sendiri Rp 13.200.000,00
Tambahan WP Kawin Rp 1.200.000,00
Tambahan 1 anak Rp 1.200.000,00
Rp15.600.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 6.600.000,00
PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp 6.600.000,00 = Rp 330.000,00
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp 330.000,00 : 12 = Rp 27.500,00
Catatan;
Biaya jabatan adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.
BAB III
PENUTUP
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan/jabatan, jasa, dan kegiatan. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 terdiri dari pegawai tetap, pegawai lepas, penerima pensiun, penerima honorarium dan penerima upah. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur maupun penghasilan yang diterima secara tidak teratur. Penghasilan yang diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan teratur, beasiswa, hadiah, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun. Pengenaan PPh Pasal 21 bersifat pemotongan. Pemotongan yang dimaksud adalah ketika pegawai menerima gaji atau upah maka gaji atau upah yang diterima tidak lagi utuh tetapi sudah dipotong dengan PPh Pasal 21. pemotong pajak untuk PPh Pasal 21 yang biasa disebut sebagai pemotong pajak terdiri dari pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dan pensiun, badan dan yayasan.
DAFTAR PUSTAKA
Mardiasmo, MBA, Ak, 2006, Perpajakan, Yogyakarta, Andi Yogyakarta.
Diana, Anastasya, SE, Ak dan Lilis Setiawati, 2004, Perpajakan Indonesia, Andi Yogyakarta.
Supramono, Prof, SE, MBA, DBA dan Theresia Woro Damayanti, SE, 2005, Perpajakan Indonesia, Andi Yogyakarta.
Tjahjono Achmad dan Mahagiyani, 2001, 2001, Perpajakan Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Jakarta.
PERSEROAN TERBATAS
I. Pendahuluan
Perseroan Terbatas (Limited Liability Company, Naamloze Vennootschap) adalah bentuk yang paling populer dari semua bentuk usaha bisnis. Yang di maksud dengan Perseroan Terbatas menurut hukum Indonesia adalah suatu badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian antara dua orang atau lebih, untuk melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham-saham. Dahulunya, Perseroan Terbatas diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Akan tetapi, ketentuan tentang Perseroan Terbatas dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang tersebut kemudian tidak berlaku lagi setelah adanya Undang-Undang Perseroan Terbatas yang merupakan Undang-Undang yang khusus mengatur tentang Perseroan Terbatas.
Dari berbagai bentuk perusahaan yang ada di Indonesia, seperti firma, persekutuan komanditer, koperasi dan lain sebagainya, bentuk perusahaan PT merupakan bentuk yang paling lazim, bahkan sering dikatakan bahwa PT merupakan bentuk perusahaan yang dominan. Dominasi PT tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di Amerika Serikat dan negara-negara lain.
PT sangat menarik minat investor atau penanam modal untuk menanamkan modalnya, bahkan PT sudah menarik hampir seluruh perhatian dunia usaha pada tahun-tahun belakangan ini dikarenakan oleh perkembangan haknya dalam hidup perekonomian di banyak negara. Dengan dominasi yang besar di Indonesia, PT telah ikut meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia, baik melalui Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), sehingga PT merupakan salah satu pilar pekonomian nasional. Lebih dipilihnya PT sebagai bentuk perusahaan dibandingkan dengan bentuk yang lain ini dikarenakan oleh dua hal, pertama, PT merupakan asosiasi modal, dan kedua, PT merupakan badan hukum yang mandiri. Sebagai asosiasi modal maka ada kemudahan bagi pemegang saham PT untuk mengalihkan sahamnya kepada orang lain, sedangkan sebagai badan hukum yang mandiri berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) menentukan bahwa pertanggungjawaban pemegang saham PT hanya terbatas pada nilai saham yang dimiliki dalam PT. Secara ekonomis, unsur pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham PT tersebut merupakan faktor yang penting sebagai umpan pendorong bagi kesediaan para calon penanam modal untuk menanamkan modalnya dalam PT.
Berdasarkan uraian tersebut, cukup jelas kiranya bahwa status badan hukum PT itu cukup penting. Persoalannya sekarang bahwa mengenai kapan mulainya status badan hukum PT itu beberapa kalangan masih ada juga yang memperdebatkan, yaitu apakah cukup setelah akta pendirian PT disahkan oleh Menteri (Pasal 7 ayat (6) UUPT), ataukah setelah akta pendirian PT disahkan oleh Menteri ditambah dengan telah dilakukan pendaftaran dan pengumuman terhadap PT (Pasal 7 ayat (6), Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 23 UUPT)?. Persoalan tersebut di atas diulas dalam tulisan ini dengan materi pembahasan meliputi tinjauan tentang badan hukum, status badan hukum PT, dan implikasi dari status badan hukum PT.
II. Proses Pendirian Perseroan Terbatas
Proses pendirian perseroan terbatas pada prinsipnya terdiri dari empat tahap, yaitu sebagai berikut:
a.Tahap Akta Notaris
Tahap Akta Notaris ini merupakan tahap awal dalam proses pendirian suatu Perseroan Terbatas. Akta Notaris tersebut diperlukan untuk merumuskan akta pendirian perseroan yang didalamnya terdapat anggaran dasar perseroan tersebut. Pada saat proses pendirian didepan notaris ini, maka minimal 50% dari modal ditempatkan sudah harus disetor. Disamping itu, pada saat tersebut nama Perseroan Terbatas yang definitif sudah harus ada yang berarti sebelumnya nama perseroan terbatas tersebut sudah harus di-reserve terlebih dahulu dari departemen kehakiman.
b. Tahap Pengesahan
Akta pendirian perseroan terbatas yang dibuat oleh notaris tersebut, yang didalamnya terdapat anggaran dasar, haruslah diajukan kepada Menteri Kehakiman untuk mendapatkan pengesahan.
c. Tahap Pendaftaran dalam Daftar Perusahaan
Setelah anggaran dasar perusahaan disahkan oleh yang berwenang, maka perusahaan tersebut harus didaftarkan dalam daftar perusahaan, yakni suatu daftar yang khusus di sediakan untuk itu.
d. Tahap Pengumuman dalam Berita Negara
Pengumuman dalam berita negara merupakan tahap terakhir dalam proses pendirian suatu perseroan terbatas. Hal ini dilakukan untuk memenuhi unsur keterbukaan kepada masyarakat bahwa suatu perseroan terbatas dengan nama tertentuserta maksud dan tujuan tertentu sudah didirikan.
III. Tanggung jawab Perseroan Terbatas
Tanggung Jawab dalam perseroan terbatas pada prinsipnya sebatas atas harta yang ada dalam perseroan tersebut. Itupula sebabnya disebut “terbatas” (Limited), yakni terbatas dari segi tanggung jawabnya. Dengan demikian, pada prinsipnya pihak pemegang saham, direksi atau komisaris tidak pernah bertanggung jawab secara pribadi. Artinya, jika ada gugatan dari pihak manapun, pihak pemegang harta pribadi dari pemegang saham, direksi atau komisaris pada prinsipnya tidak boleh ikut disita. Namun demikian, prinsip tanggung jawab terbatas tersebut tidak berlaku dalam hal-hal berikut:
a. persyaratan perseroan terbatas sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi.
b. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung atau tidak langsung dengan etikad buruk memanfaatkan perseroan terbatas semata-mata untuk kepentingan pribadi.
c. Pemegang saham dari perseroan terbatas terlibat dalam pembuatan melawan hukum yang di lakukan oleh perseroan
d. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung mapun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup melunasi hutang perseroan terbatas tersebut.
e. Direksi akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya selaku direksi.
f. Komisaris akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya selaku komisaris.
IV. Modal dan Saham
1. Jenis-jenis modal perseroan terbatas;
a. Modal Dasar
Modal dasar merupakan seluruh modal perseroan, seperti yang ditulis dalam anggaran dasar baik yang sudah atau yang belum disetor.
b. Modal Ditempatkan
Modal ditempatkan adalah sebagian atau seluruh dari modal dasar yang telah diperuntukkan atau dijatah kepada pemegang saham tertentu.
c. Modal Setor
Modal setor adalah modal yang telah ditempatkan dan diperuntukkan bagi masing-masing pemegang saham dan telah disetor penuh oleh pemegang saham tersebut, sehingga uang penyetoran saham tersebut sudah dapat dipergunakan oleh perusahaan untuk menjalankan bisnisnya.
2. Klasifikasi Saham
Saham dari suatu perseroan terbatas dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Saham Biasa (Common Stock)
Saham biasa adalah saham yang tidak memiliki kelebihan dari saham lain.
b. Saham Preferen (Prefered Stock)
Saham preferen adalah saham yang mempunyai hak mendahului untuk memperoleh keuntungan, tetapi pemegang saham ini tidak memiliki hak mengurus dan tidak memiliki hak suara.
c. Saham Preferen Kumulatif (Cumulative Prefered Stock)
Saham preferen kumulatif adalah saham yang pembagian dividennya diakumulasikan antara tahun yang satu dengan tahun yang lainnya. Jika pada satu tahun tertentu PT tidak memperoleh laba yang cukup, sehingga tidak membagi dividen kepada pemegang saham dan dividen tersebut akan diperhitungkan dan dibayar pada tahun berikutnya jika laba sudah memungkinkan.
d. Saham Bonus
Saham bonus adalah saham yang diberikan secara cuma-Cuma kepada pemegang saham biasa. Hal ini dilakukan karena adanya keuntungan tahun-tahun sebelumnya dalam bentuk cadangan yang cukup besar. Untuk menghilangkan cadangan yang lalu tersebut, maka diganti dengan mengeluarkan saham bonus.
e. Saham Kosong
Saham kosong adalah saham yang dibeli kembali oleh PT dari para pemegang saham yang kemudian disimpan dan tidak ikut serta lagi dalam modal PT.
V. Organ-Organ Perseroan Terbatas
Adapun yang merupakan organ dari perseroan terbatas adalah sebagai berikut:
a. Rapat Umum Pemegang Saham
Merupakan organ perseroan yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam perseroan tersebut. RUPS terdiri dari rapat umum pemegang saham biasa(tahunan) dan rapat umum pemegang saham luar biasa.
b. Direksi
Merupakan organ perusahaan yang memiliki kewenangan menjalankan dan mengambil kebijaksanaan perusahaan atau eksekutif. Organ direksi ini dipilih oleh rapat umum pemegang saham dan karenanya harus pula bertanggungjawab kepada RUPS.
c. Komisaris
Merupakan organ yang melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perseroan. Organ komisaris tersebut dipilih oleh rapat umum pemegang saham dan karenanya harus pula bertanggungjawab kepada RUPS.
VI. Kebaikan dan Keburukan Perseroan Terbatas
1. kebaikan Perseroan Terbatas
• Adanya tanggung jawab yang terbatas dari para pemegang saham terhadap hutang-hutang perusahaan
• Mudah mendapatkan tambahan modal atau dana, misalkan dengan mengeluarkan saham baru
• kelangsungan hidup PT lebih terjamin, sebab pemiliknya dapat berganti-ganti
• terdapat efisiensi pengelolaan sumber dana dan efisiensi pimpinan, karena pimpinan yang kurang cakap dapat diganti dengan yang lebih cakap.
2. Keburukan perseroan terbatas
• PT merupak subjek pajak tersendiri dan deviden yang di terima oleh pemegang saham di kenakan pajak lagi sebagai pajak pendapatan dari pemegang saham tersebut.
• mendirikan suatu PT tidak mudah atau lebih rumit, memerlukan akte notaris dan izin khusus untuk usaha tertentu dan semuanya itu memerlukan dana yang besar.
• Kurang terjamin rahasia perusahaan, karena semua kegiatan perusahaan harus dilaporkan kepada para pemegang saham, terutama yang menyangkut laba perusahaan.
VII. Jenis-Jenis Perseroan Terbatas
1. PT Terbuka
PT Terbuka atau PT umum adalah PT yang kebutuhan modalnya diperoleh dengan caramenjual sahamnya di bursa. Jadi, siapa saja dapat membeli dan memiliki sahamnya. Jenis saham yang dijual PT terbuka disebut “atas unjuk”.
2. PT Tertutup
PT Tertutup adalah PT yang saham-sahamnya hanya dapat dimiliki oleh orang-orang tertentu, yang biasanya keluarga atau teman dekat. Jenis sahamnya adalah “atas nama”.
3. PT Perseorangan
PT Perseorangan adalah PT yang seluruh sahamnya dimiliki oleh satu orang sekaligus bertindak sebagai.
4. PT Milik Negara
PT Milik Negara adalah PT yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh negara.
5. PT Kosong
PT Kosong adalah PT yang badan usahanya masih ada tetapi perusahaannya sudah tidak produktif lagi.
6. PT Domestik
PT Domestik adalah PT yang yang berdiri dan menjalankan kegiatan operasional di dalam negeri sesuai aturan yang berlaku di wilayah republik Indonesia.
7. PT Asing
PT Asing adalah PT yang didirikan di Negara lain dengan aturan dan hukum yang berlaku di Negara tempat PT itu didirikan. Namun pemerintah telah menetapkan bahwa setiap perusahaan asing yang ingin berbisnis dan beroperasi did alam negeri berbentuk PT yang taat dan tunduk aturan dan hukum yang ada di Indonesia.
VIII. Pembubaran Perseroan Terbatas
Perseroan Terbatas dapat dibubarkan dengan alasan sebagai berikut:
a. Bubar karena keputusan RUPS
b. Bubar karena jangka waktu berdirinya sudah berakhir
c. Bubar karena penetapan pengadilan
Apabila suatu perseroan bubar, maka harus diangkat seorang atau lebih Likuidator yang membereskan pembubaran tersebut.
IX. Ulasan Status Badan Hukum Perseroan Terbatas
A. Tinjauan Tentang Badan Hukum
Dalam ilmu hukum ada dikenal dua subjek hukum, yaitu orang dan badan hukum. Mengenai definisinya, badan hukum atau legal entity atau legal person dalam Black’s Law Dictionary dinyatakan sebagai a body, other than a natural person, that can function legally, sue or be sued, and make decisions through agents. Sementara dalam kamus hukum versi Bahasa Indonesia, badan hukum diartikan dengan organisasi, perkumpulan atau paguyuban lainnya di mana pendiriannya dengan akta otentik dan oleh hukum diperlakukan sebagai personal atau sebagai orang.
Pengaturan dasar dari badan hukum itu sendiri terdapat di dalam Pasal 1654 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa:
Semua perkumpulan yang sah adalah seperti halnya dengan orang-orang preman, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan umum, dalam mana kekuasaan itu telah diubah, dibatasi atau ditundukkan pada acara-acara tertentu.Sementara itu, yang merupakan peraturan umum dari badan hukum adalah Pasal 1653 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa:
Selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan baik.
Menurut Doktrin, kriteria yang dipakai untuk menentukan ciri-ciri suatu badan hukum adalah apabila perusahaan itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1. adanya harta kekayaan yang terpisah
2. mempunyai tujuan tertentu, mempunyai kepentingan sendiri
3. adanya organisasi yang teratur.
Aturan untuk menentukan kedudukan suatu perusahaan sebagai badan hukum, biasanya ditetapkan oleh perundang-undangan, kebiasaan atau yurisprudensi. Sebagai contoh, PT dinyatakan sebagai badan hukum di dalam Pasal 1 butir 1 UUPT, koperasi dinyatakan sebagai badan hukum dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Perkoperasian, dan yayasan dinyatakan sebagai badan hukum dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan.
Sebagai subjek hukum, badan hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang, akan tetapi perbuatan hukum itu hanya terbatas pada bidang hukum harta kekayaan. Karena bentuk badan hukum adalah sebagai badan atau lembaga, maka dalam mekanisme pelaksanaannya badan hukum bertindak dengan perantaraan pengurus-pengurusnya.
B. Status Badan Hukum PT
Apabila ditinjau dari status hukumnya, perusahaan dibedakan ke dalam dua jenis, pertama, perusahaan yang berstatus badan hukum (meliputi PT, koperasi, yayasan), dan perusahaan yang tidak berstatus badan hukum (meliputi perusahaan perseorangan, firma/Fa,Persekutuan Komanditer/CV).Dasar hukum dari status badan hukum PT tersebut tercantum di dalam Pasal 1 butir 1 UUPT, sebagai berikut: Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksananya.
Dari ketentuan tersebut secara eksplisit sangat jelas disebutkan bahwa PT merupakan badan hukum. Perseroan merupakan suatu bentuk (legal form) yang didirikan atas fiksi hukum (legal fiction) bahwa perseroan memiliki kapasitas yuridis yang sama dengan yang dimiliki oleh orang perseorangan (natural person).
Apabila dikaitkan dengan unsur-unsur mengenai badan hukum, maka unsur-unsur yang menandai PT sebagai badan hukum adalah bahwa PT mempunyai kekayaan yang terpisah (Pasal 24 ayat (1) UUPT), mempunyai kepentingan sendiri (Pasal 82 UUPT), mempunyai tujuan tertentu (Pasal 12 huruf b UUPT), dan mempunyai organisasi teratur (Pasal 1 butir 2 UUPT). Terkait dengan hal tersebut, Rudhi Prasetyo berpendapat bahwa setidak-tidaknya ada tiga karakteristik yang dominan dan penting di dalam PT, yaitu: (1) pertanggungjawaban yang timbul semata-mata dibebankan kepada harta kekayaan yang terhimpun dalam asosiasi, (2) sifat mobilitas atas hak penyertaan, dan (3) prinsip pengurusan melalui organ.
Karakteristik PT yang pertama tersebut sangat berkaitan dengan status badan hukum PT. Sejak PT berstatus sebagai badan hukum, maka hukum memperlakukan PT sebagai pribadi mandiri yang dapat bertanggung jawab sendiri atas perbuatan PT. Tinggal persoalannya sekarang adalah kapan PT mulai berstatus sebagai badan hukum?
Di dalam Pasal 7 ayat (6) UUPT ditentukan bahwa perseroan memperoleh status badan hukum setelah Akta Pendirian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disahkan oleh Menteri. Pengesahan akta pendirian ini tidak hanya semata-mata sebagai kontrol administrasi atau wujud campur tangan pemerintah terhadap dunia usaha, tetapi juga dalam rangka tugas umum pemerintah untuk menjaga ketertiban dan ketenteraman usaha serta dicegahnya hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan umum dan kesusilaan. Pasal 7 ayat (6) UUPT itu merupakan dasar hukum mulainya status badan hukum PT. Dengan demikian, ini adalah suatu kepastian hukum yang diberikan UUPT bahwasanya PT berstatus sebagai badan hukum sejak setelah akta pendirian PT disahkan oleh Menteri.
Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 7 ayat (6) UUPT tersebut, lalu bagaimana dengan ketentuan Pasal 23 UUPT yang menyatakan bahwa selama pendaftaran dan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 belum dilakukan menyebabkan direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukan perseroan?
Apabila dilihat dalam Penjelasan Pasal 23 UUPT, ketentuan ini merupakan ketentuan yang mengatur tentang sanksi perdata bagi direksi PT, selain ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang Wajib Daftar Perusahaan (UUWDP) dalam hal kewajiban pendaftaran dan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan 22 UUPT tidak dipenuhi. Adapun secara lengkap Pasal 21 dan 22 UUPT tersebut adalah:
• Pasal 21 UUPT:
(1) Direksi perseroan wajib mendaftarkan dalam daftar perusahaan:
• Akta Pendirian beserta surat pengesahan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 6
• Akta perubahan Anggaran Dasar beserta surat persetujuan Menteri sebagaimana Pasal 15 ayat
• Akta perubahan Anggaran Dasar beserta laporan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3).
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah pengesahan atau persetujuan yang diberikan atau setelah tanggal penerimaan laporan.
• Pasal 22 UUPT:
(1) Perseroan yang telah didaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia
(2) Permohonan pengumuman perseroan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan Direksi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pendaftaran
(3) Tata cara pengajuan permohonan pengumuman dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kewajiban pendaftaran PT ini merupakan amanat dari UUWDP yang mengatur kewajiban pendaftaran perusahaan di Indonesia. Di dalam Pasal 5 UUWDP ditentukan bahwa:
Setiap perusahaan wajib didaftarkan dalam Daftar Perusahaan
Pendaftaran wajib dilakukan oleh pemilik atau pengurus perusahaan yang bersangkutan atau dapat diwakilkan kepada orang lain dengan memberikan surat kuasa yang sah
Apabila perusahaan dimilki oleh beberapa orang, pemilik berkewajiban untuk melakukan pendaftaran. Apabila salah seorang daripada mereka telah memenuhi kewajibannya, yang lain dibebaskan dari kewajiban tersebut
Apabila pemilik dan atau pengurus dari suatu perusahaan yang berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia tidak bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia, pengurus atau kuasa yang ditugaskan memegang pimpinan perusahaan berkewajiban untuk mendaftarkan.
Adapun sanksi pidana bagi direksi atas kelalaian mendaftarkan PT itu diatur dalam Pasal 32 UUWDP berikut ini:
Barang siapa yang menurut undang-undang ini dan atau peraturan pelaksanaannya diwajibkan mendaftarkan perusahaannya dalam Daftar Perusahaan yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya tidak memenuhi kewajibannya diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp3.000.000; (tiga juta rupiah)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini merupakan kejahatan.
Apabila ditinjau dari Risalah Pembahasan RUUPT 1995, perseroan yang didaftarkan dalam daftar perusahaan adalah perseroan yang telah berstatus sebagai badan hukum. Setelah dilakukan pengesahan akta pendirian perseroan oleh Menteri, maka perseroan dapat beroperasi secara penuh sebagai badan hukum, tidak perlu menunggu sampai terbitnya Berita Negara.
Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 21 UUPT dan Pasal 5 UUWDP di atas, direksi PT tidak boleh bertindak semaunya, bahwasanya dengan pengesahan akta pendirian perseroan oleh Menteri maka memang bagi pemegang saham pertanggungjawabannya sudah menjadi terbatas, tetapi tanggung jawab direksi masih mensyaratkan adanya pendaftaran perseroan ke dalam Daftar Perusahaan dalam jangka waktu 30 hari.
Dengan demikian, perlu dibedakan antara terbatasnya tanggung jawab pemegang saham yang memang ditandai oleh lahirnya badan hukum perseroan, dengan tanggung jawab direksi untuk mendaftarkan dan mengumumkan perseroan dalam daftar perusahaan walaupun status badan hukum perseroan sudah diperoleh. Oleh karena itu, pendaftaran dan pengumuman perseroan ini tentu tidak mempengaruhi keabsahan dari kelahiran perseroan sebagai badan hukum. Status Badan hukum itu secara konstitutif timbul setelah akta pendirian perseroan disahkan Menteri, sementara pendaftaran dan pengumuman perseroan itu hanya sebagai wadah publikasi supaya dapat dilihat oleh masyarakat umum, bukan sebagai syarat tambahan untuk kelahiran status badan hukum perseroan. Hakikat dari pengumuman itu sendiri sebenarnya dalam rangka sarana publikasi dan pemenuhan aspek transparansi PT kepada pihak ketiga, bahwasanya telah didirikan PT yang bersangkutan dengan status sebagai suatu badan hukum. Dengan pengumuman ini diharapkan pihak ketiga mengetahui eksistensi PT beserta status hukumnya. Oleh karena itu, pengumuman PT pada dasarnya dimaksudkan untuk menjaga agar khalayak tidak dirugikan.
Dengan demikian jelas kiranya bahwa PT memperoleh status badan hukum adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (6) UUPT, yaitu setelah akta pendirian PT disahkan oleh Menteri. Pasal 23 UUPT itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap status badan hukum PT yang sudah diperoleh, itu hanya berpengaruh pada dampak dari tidak didaftarkan dan diumumkannya PT, yaitu dampak kerugian yang mungkin diderita oleh pihak ketiga.
Dengan memperhatikan uraian tersebut jelas kiranya bahwa Pasal 23 UUPT itu sekedar mengatur tentang apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab direksi sehingga Pasal 23 UUPT itu tidak berpengaruh terhadap saat kelahiran dari PT sebagai badan hukum.
C. Implikasi Status Badan Hukum PT
Dengan dimulainya status badan hukum PT, maka ada beberapa implikasi yang timbul terhadap beberapa pihak yang terkait di dalam PT. Implikasi tersebut berlaku terhadap pihak-pihak berikut ini:
1. Pemegang Saham PT
Setelah PT berstatus sebagai badan hukum, sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUPT maka pemegang saham PT tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan serta tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya.
Dengan demikian, pertanggungjawaban pemegang saham dalam PT itu terbatas, pemegang saham dalam PT secara pasti tidak akan memikul kerugian hutang PT lebih dari bagian harta kekayaan yang ditanamkannya dalam PT. Sebaliknya, tanggung jawab dari perusahaan (PT) itu sendiri tidak terbatas, apabila terjadi hutang atau kerugian-kerugian dalam PT, maka hutang atau kerugian itu akan semata-mata dibayar secukupnya dari harta kekayaan yang tersedia dalam PT.
Hal tersebut dikarenakan adanya doktrin corporate separate legal personality yang esensinya bahwa suatu perusahaan, dalam hal ini PT, mempunyai personalitas atau kepribadian yang berbeda dari orang yang menciptakannya. Doktrin dasar PT adalah bahwa perseroan merupakan kesatuan hukum yang terpisah dari subjek hukum pribadi yang menjadi pendiri atau pemegang saham dari perseroan tersebut. Ada suatu tabir (veil) pemisah antara perseroan sebagai suatu legal entity dengan para pemegang saham dari perseroan tersebut.
Doktrin piercing the corporate veil yang notabene merupakan doktrin hukum perseroan di Common Law System itu telah diintegrasikan ke dalam UUPT yang ide dasarnya dituangkan dalam Pasal 3 ayat (2) UUPT. Dalam ketentuan tersebut diketahui bahwa untuk terjadinya piercing the corporate veil dipersyaratkan beberapa hal, sebagai berikut:
a. persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi;
c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan;
d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan. Dari ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUPT itu dapat diketahui bahwa tanggung jawab pemegang saham yang sifatnya terbatas di dalam PT yang sudah berstatus badan hukum itu menjadi tidak berlaku lagi apabila pemegang saham melakukan hal-hal seperti tercantum dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b sampai dengan d seperti tersebut di atas.
2. Pendiri PT
Status badan hukum PT juga berpengaruh terhadap keterbatasan tanggung jawab dari para pendiri PT. Berdasarkan Pasal 11 UUPT, setelah PT berstatus sebagai badan hukum maka ada dua kemungkinan yang akan terjadi terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pendiri PT pada masa sebelum PT disahkan sebagai badan hukum, yaitu: pertama, perbuatan hukum tersebut mengikat PT setelah PT menjadi badan hukum, dengan persyaratan:
1. PT secara tegas menyatakan menerima semua perjanjian yang dibuat oleh pendiri;
2. PT secara tegas menyatakan mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian yang dibuat pendiri walaupun perjanjian tidak dilakukan atas nama PT; atau;
3. PT mengukuhkan secara tertulis semua perbuatan hukum yang dilakukan atas nama PT. Kemungkinan yang kedua, perbuatan hukum tersebut tidak diterima, tidak diambil alih atau tidak dikukuhkan oleh PT, sehingga masing-masing pendiri yang melakukan perbuatan hukum tersebut bertanggung jawab secara pribadi atas segala akibat yang timbul. Kalau kemungkinan kedua ini yang terjadi maka pertanggungjawaban dari pendiri terhadap PT menjadi tanggung jawab pribadi.
3. Direksi PT
Direksi PT menurut ketentuan Pasal 1 butir 4 UUPT adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sebagaimana halnya tanggung jawab terbatas pemegang saham PT, keterbatasan tanggung jawab itu juga berlaku terhadap anggota direksi meskipun tidak secara tegas dinyatakan dalam pasal-pasal UUPT.
Hal tersebut dapat diketahui dari Pasal 85 ayat (2) UUPT yang mengatur bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Dari ketentuan itu secara acontrario dapat diartikan bahwa apabila anggota direksi tidak bersalah dan tidak lalai menjalankan tugasnya, maka berarti direksi tidak bertanggung jawab penuh secara pribadi.
Selama direksi menjalankan tugas dan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab, maka anggota direksi tetap mempunyai tanggung jawab yang terbatas yang merupakan ciri utama dari PT. Sebaliknya, oleh karena menjadi anggota direksi adalah berarti menduduki suatu jabatan, maka orang yang menduduki jabatan itu harus memikul tanggung jawab apabila kemudian tugas dan kewajibannya tersebut dilalaikan atau jika wewenangnya disalahgunakan.
Berkaitan dengan hal tersebut, UUPT sudah mengatur bentuk pertanggungjawaban direksi atas kelalaian ataupun kesalahannya di dalam menjalankan pengurusan PT, yaitu:
a. Pasal 23 UUPT, yang menyatakan bahwa selama pendaftaran dan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan 22 belum dilakukan, maka direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukan perseroan.
b. Pasal 85 ayat (2) UUPT, yang mengatur bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Menurut Pasal 85 ayat (3) UUPT, direksi atas kesalahan atau kelalaiannya menyebabkan kerugian pada perseroan bahkan dapat digugat di Pengadilan Negeri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari seluruh saham dengan hak suara sah.
c. Pasal 90 ayat (2) UUPT, yang menentukan bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian itu, kecuali apabila direksi dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, maka direksi tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng.
4. Komisaris PT
Status badan hukum PT juga berpengaruh terhadap tanggung jawab komisaris PT. Sebagaimana dalam Pasal 97 UUPT, komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasihat kepadadireksi. Sesusi dengan Pasal 100 ayat (1) UUPT, di dalam Anggaran Dasar juga dapat ditentukan tentang pemberian wewenang kepada komisaris untuk memberikan persetujuan atau bantuan kepada direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu.
Selain itu, menurut Pasal 100 ayat (2), berdasarkan Anggaran Dasar atau keputusan RUPS, komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu. Dalam kondisi demikian, maka berlaku semua ketentuan mengenai hak, wewenang dan kewajiban direksi terhadap perseroan dan pihak ketiga. Oleh karena itu, ketentuan mengenai tanggung jawab terbatas direksi PT juga berlaku terhadap komisaris tersebut.
Secara implisit, tanggung jawab komisaris juga terbatas sebagaimana tercantum dalam Pasal 98 ayat (2) UUPT, bahwa atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri terhadap komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan.
X. Kesimpulan
Status badan hukum merupakan salah satu unsur penting dari PT dalam menarik para investor atau penanam modal untuk menjadi pemegang saham PT. Perdebatan tentang kapan dimulainya status badan hukum PT itu kiranya tidak perlu diperpanjang lagi, karena Pasal 7 ayat (6) UUPT sudah memberikan kepastian hukum mengenai kapan status badan hukum itu diperoleh, yaitu setelah akta pendirian PT disahkan oleh Menteri.
Setelah status badan hukum PT diperoleh, maka akan ada implikasi berupa prinsip-prinsip terbatasnya tanggung jawab dari pemegang saham, pendiri, dan direksi sepanjang pihak-pihak tersebut tidak melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melakukan tugas kewajibannya dalam PT.
Dalam badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas, badan usaha ini dikenakan pajak sampai dua kali. Pajak yang pertama adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan atas dividen yang dihasilkan dari transaksi surat berharga dan pajak ini dibayar atau dikenakan kepada pemegang saham. Sedangkan pengenaan pajak yang kedua adalah pengenaan pajak atas laba yang diperoleh atas usaha operasional perusahaan. Pajak ini dinamakan Pajak Penambahan Nilai (PPN).
Perseroan Terbatas (Limited Liability Company, Naamloze Vennootschap) adalah bentuk yang paling populer dari semua bentuk usaha bisnis. Yang di maksud dengan Perseroan Terbatas menurut hukum Indonesia adalah suatu badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian antara dua orang atau lebih, untuk melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham-saham. Dahulunya, Perseroan Terbatas diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Akan tetapi, ketentuan tentang Perseroan Terbatas dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang tersebut kemudian tidak berlaku lagi setelah adanya Undang-Undang Perseroan Terbatas yang merupakan Undang-Undang yang khusus mengatur tentang Perseroan Terbatas.
Dari berbagai bentuk perusahaan yang ada di Indonesia, seperti firma, persekutuan komanditer, koperasi dan lain sebagainya, bentuk perusahaan PT merupakan bentuk yang paling lazim, bahkan sering dikatakan bahwa PT merupakan bentuk perusahaan yang dominan. Dominasi PT tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di Amerika Serikat dan negara-negara lain.
PT sangat menarik minat investor atau penanam modal untuk menanamkan modalnya, bahkan PT sudah menarik hampir seluruh perhatian dunia usaha pada tahun-tahun belakangan ini dikarenakan oleh perkembangan haknya dalam hidup perekonomian di banyak negara. Dengan dominasi yang besar di Indonesia, PT telah ikut meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia, baik melalui Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), sehingga PT merupakan salah satu pilar pekonomian nasional. Lebih dipilihnya PT sebagai bentuk perusahaan dibandingkan dengan bentuk yang lain ini dikarenakan oleh dua hal, pertama, PT merupakan asosiasi modal, dan kedua, PT merupakan badan hukum yang mandiri. Sebagai asosiasi modal maka ada kemudahan bagi pemegang saham PT untuk mengalihkan sahamnya kepada orang lain, sedangkan sebagai badan hukum yang mandiri berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) menentukan bahwa pertanggungjawaban pemegang saham PT hanya terbatas pada nilai saham yang dimiliki dalam PT. Secara ekonomis, unsur pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham PT tersebut merupakan faktor yang penting sebagai umpan pendorong bagi kesediaan para calon penanam modal untuk menanamkan modalnya dalam PT.
Berdasarkan uraian tersebut, cukup jelas kiranya bahwa status badan hukum PT itu cukup penting. Persoalannya sekarang bahwa mengenai kapan mulainya status badan hukum PT itu beberapa kalangan masih ada juga yang memperdebatkan, yaitu apakah cukup setelah akta pendirian PT disahkan oleh Menteri (Pasal 7 ayat (6) UUPT), ataukah setelah akta pendirian PT disahkan oleh Menteri ditambah dengan telah dilakukan pendaftaran dan pengumuman terhadap PT (Pasal 7 ayat (6), Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 23 UUPT)?. Persoalan tersebut di atas diulas dalam tulisan ini dengan materi pembahasan meliputi tinjauan tentang badan hukum, status badan hukum PT, dan implikasi dari status badan hukum PT.
II. Proses Pendirian Perseroan Terbatas
Proses pendirian perseroan terbatas pada prinsipnya terdiri dari empat tahap, yaitu sebagai berikut:
a.Tahap Akta Notaris
Tahap Akta Notaris ini merupakan tahap awal dalam proses pendirian suatu Perseroan Terbatas. Akta Notaris tersebut diperlukan untuk merumuskan akta pendirian perseroan yang didalamnya terdapat anggaran dasar perseroan tersebut. Pada saat proses pendirian didepan notaris ini, maka minimal 50% dari modal ditempatkan sudah harus disetor. Disamping itu, pada saat tersebut nama Perseroan Terbatas yang definitif sudah harus ada yang berarti sebelumnya nama perseroan terbatas tersebut sudah harus di-reserve terlebih dahulu dari departemen kehakiman.
b. Tahap Pengesahan
Akta pendirian perseroan terbatas yang dibuat oleh notaris tersebut, yang didalamnya terdapat anggaran dasar, haruslah diajukan kepada Menteri Kehakiman untuk mendapatkan pengesahan.
c. Tahap Pendaftaran dalam Daftar Perusahaan
Setelah anggaran dasar perusahaan disahkan oleh yang berwenang, maka perusahaan tersebut harus didaftarkan dalam daftar perusahaan, yakni suatu daftar yang khusus di sediakan untuk itu.
d. Tahap Pengumuman dalam Berita Negara
Pengumuman dalam berita negara merupakan tahap terakhir dalam proses pendirian suatu perseroan terbatas. Hal ini dilakukan untuk memenuhi unsur keterbukaan kepada masyarakat bahwa suatu perseroan terbatas dengan nama tertentuserta maksud dan tujuan tertentu sudah didirikan.
III. Tanggung jawab Perseroan Terbatas
Tanggung Jawab dalam perseroan terbatas pada prinsipnya sebatas atas harta yang ada dalam perseroan tersebut. Itupula sebabnya disebut “terbatas” (Limited), yakni terbatas dari segi tanggung jawabnya. Dengan demikian, pada prinsipnya pihak pemegang saham, direksi atau komisaris tidak pernah bertanggung jawab secara pribadi. Artinya, jika ada gugatan dari pihak manapun, pihak pemegang harta pribadi dari pemegang saham, direksi atau komisaris pada prinsipnya tidak boleh ikut disita. Namun demikian, prinsip tanggung jawab terbatas tersebut tidak berlaku dalam hal-hal berikut:
a. persyaratan perseroan terbatas sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi.
b. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung atau tidak langsung dengan etikad buruk memanfaatkan perseroan terbatas semata-mata untuk kepentingan pribadi.
c. Pemegang saham dari perseroan terbatas terlibat dalam pembuatan melawan hukum yang di lakukan oleh perseroan
d. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung mapun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup melunasi hutang perseroan terbatas tersebut.
e. Direksi akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya selaku direksi.
f. Komisaris akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya selaku komisaris.
IV. Modal dan Saham
1. Jenis-jenis modal perseroan terbatas;
a. Modal Dasar
Modal dasar merupakan seluruh modal perseroan, seperti yang ditulis dalam anggaran dasar baik yang sudah atau yang belum disetor.
b. Modal Ditempatkan
Modal ditempatkan adalah sebagian atau seluruh dari modal dasar yang telah diperuntukkan atau dijatah kepada pemegang saham tertentu.
c. Modal Setor
Modal setor adalah modal yang telah ditempatkan dan diperuntukkan bagi masing-masing pemegang saham dan telah disetor penuh oleh pemegang saham tersebut, sehingga uang penyetoran saham tersebut sudah dapat dipergunakan oleh perusahaan untuk menjalankan bisnisnya.
2. Klasifikasi Saham
Saham dari suatu perseroan terbatas dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Saham Biasa (Common Stock)
Saham biasa adalah saham yang tidak memiliki kelebihan dari saham lain.
b. Saham Preferen (Prefered Stock)
Saham preferen adalah saham yang mempunyai hak mendahului untuk memperoleh keuntungan, tetapi pemegang saham ini tidak memiliki hak mengurus dan tidak memiliki hak suara.
c. Saham Preferen Kumulatif (Cumulative Prefered Stock)
Saham preferen kumulatif adalah saham yang pembagian dividennya diakumulasikan antara tahun yang satu dengan tahun yang lainnya. Jika pada satu tahun tertentu PT tidak memperoleh laba yang cukup, sehingga tidak membagi dividen kepada pemegang saham dan dividen tersebut akan diperhitungkan dan dibayar pada tahun berikutnya jika laba sudah memungkinkan.
d. Saham Bonus
Saham bonus adalah saham yang diberikan secara cuma-Cuma kepada pemegang saham biasa. Hal ini dilakukan karena adanya keuntungan tahun-tahun sebelumnya dalam bentuk cadangan yang cukup besar. Untuk menghilangkan cadangan yang lalu tersebut, maka diganti dengan mengeluarkan saham bonus.
e. Saham Kosong
Saham kosong adalah saham yang dibeli kembali oleh PT dari para pemegang saham yang kemudian disimpan dan tidak ikut serta lagi dalam modal PT.
V. Organ-Organ Perseroan Terbatas
Adapun yang merupakan organ dari perseroan terbatas adalah sebagai berikut:
a. Rapat Umum Pemegang Saham
Merupakan organ perseroan yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam perseroan tersebut. RUPS terdiri dari rapat umum pemegang saham biasa(tahunan) dan rapat umum pemegang saham luar biasa.
b. Direksi
Merupakan organ perusahaan yang memiliki kewenangan menjalankan dan mengambil kebijaksanaan perusahaan atau eksekutif. Organ direksi ini dipilih oleh rapat umum pemegang saham dan karenanya harus pula bertanggungjawab kepada RUPS.
c. Komisaris
Merupakan organ yang melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perseroan. Organ komisaris tersebut dipilih oleh rapat umum pemegang saham dan karenanya harus pula bertanggungjawab kepada RUPS.
VI. Kebaikan dan Keburukan Perseroan Terbatas
1. kebaikan Perseroan Terbatas
• Adanya tanggung jawab yang terbatas dari para pemegang saham terhadap hutang-hutang perusahaan
• Mudah mendapatkan tambahan modal atau dana, misalkan dengan mengeluarkan saham baru
• kelangsungan hidup PT lebih terjamin, sebab pemiliknya dapat berganti-ganti
• terdapat efisiensi pengelolaan sumber dana dan efisiensi pimpinan, karena pimpinan yang kurang cakap dapat diganti dengan yang lebih cakap.
2. Keburukan perseroan terbatas
• PT merupak subjek pajak tersendiri dan deviden yang di terima oleh pemegang saham di kenakan pajak lagi sebagai pajak pendapatan dari pemegang saham tersebut.
• mendirikan suatu PT tidak mudah atau lebih rumit, memerlukan akte notaris dan izin khusus untuk usaha tertentu dan semuanya itu memerlukan dana yang besar.
• Kurang terjamin rahasia perusahaan, karena semua kegiatan perusahaan harus dilaporkan kepada para pemegang saham, terutama yang menyangkut laba perusahaan.
VII. Jenis-Jenis Perseroan Terbatas
1. PT Terbuka
PT Terbuka atau PT umum adalah PT yang kebutuhan modalnya diperoleh dengan caramenjual sahamnya di bursa. Jadi, siapa saja dapat membeli dan memiliki sahamnya. Jenis saham yang dijual PT terbuka disebut “atas unjuk”.
2. PT Tertutup
PT Tertutup adalah PT yang saham-sahamnya hanya dapat dimiliki oleh orang-orang tertentu, yang biasanya keluarga atau teman dekat. Jenis sahamnya adalah “atas nama”.
3. PT Perseorangan
PT Perseorangan adalah PT yang seluruh sahamnya dimiliki oleh satu orang sekaligus bertindak sebagai.
4. PT Milik Negara
PT Milik Negara adalah PT yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh negara.
5. PT Kosong
PT Kosong adalah PT yang badan usahanya masih ada tetapi perusahaannya sudah tidak produktif lagi.
6. PT Domestik
PT Domestik adalah PT yang yang berdiri dan menjalankan kegiatan operasional di dalam negeri sesuai aturan yang berlaku di wilayah republik Indonesia.
7. PT Asing
PT Asing adalah PT yang didirikan di Negara lain dengan aturan dan hukum yang berlaku di Negara tempat PT itu didirikan. Namun pemerintah telah menetapkan bahwa setiap perusahaan asing yang ingin berbisnis dan beroperasi did alam negeri berbentuk PT yang taat dan tunduk aturan dan hukum yang ada di Indonesia.
VIII. Pembubaran Perseroan Terbatas
Perseroan Terbatas dapat dibubarkan dengan alasan sebagai berikut:
a. Bubar karena keputusan RUPS
b. Bubar karena jangka waktu berdirinya sudah berakhir
c. Bubar karena penetapan pengadilan
Apabila suatu perseroan bubar, maka harus diangkat seorang atau lebih Likuidator yang membereskan pembubaran tersebut.
IX. Ulasan Status Badan Hukum Perseroan Terbatas
A. Tinjauan Tentang Badan Hukum
Dalam ilmu hukum ada dikenal dua subjek hukum, yaitu orang dan badan hukum. Mengenai definisinya, badan hukum atau legal entity atau legal person dalam Black’s Law Dictionary dinyatakan sebagai a body, other than a natural person, that can function legally, sue or be sued, and make decisions through agents. Sementara dalam kamus hukum versi Bahasa Indonesia, badan hukum diartikan dengan organisasi, perkumpulan atau paguyuban lainnya di mana pendiriannya dengan akta otentik dan oleh hukum diperlakukan sebagai personal atau sebagai orang.
Pengaturan dasar dari badan hukum itu sendiri terdapat di dalam Pasal 1654 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa:
Semua perkumpulan yang sah adalah seperti halnya dengan orang-orang preman, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan umum, dalam mana kekuasaan itu telah diubah, dibatasi atau ditundukkan pada acara-acara tertentu.Sementara itu, yang merupakan peraturan umum dari badan hukum adalah Pasal 1653 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa:
Selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan baik.
Menurut Doktrin, kriteria yang dipakai untuk menentukan ciri-ciri suatu badan hukum adalah apabila perusahaan itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1. adanya harta kekayaan yang terpisah
2. mempunyai tujuan tertentu, mempunyai kepentingan sendiri
3. adanya organisasi yang teratur.
Aturan untuk menentukan kedudukan suatu perusahaan sebagai badan hukum, biasanya ditetapkan oleh perundang-undangan, kebiasaan atau yurisprudensi. Sebagai contoh, PT dinyatakan sebagai badan hukum di dalam Pasal 1 butir 1 UUPT, koperasi dinyatakan sebagai badan hukum dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Perkoperasian, dan yayasan dinyatakan sebagai badan hukum dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan.
Sebagai subjek hukum, badan hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang, akan tetapi perbuatan hukum itu hanya terbatas pada bidang hukum harta kekayaan. Karena bentuk badan hukum adalah sebagai badan atau lembaga, maka dalam mekanisme pelaksanaannya badan hukum bertindak dengan perantaraan pengurus-pengurusnya.
B. Status Badan Hukum PT
Apabila ditinjau dari status hukumnya, perusahaan dibedakan ke dalam dua jenis, pertama, perusahaan yang berstatus badan hukum (meliputi PT, koperasi, yayasan), dan perusahaan yang tidak berstatus badan hukum (meliputi perusahaan perseorangan, firma/Fa,Persekutuan Komanditer/CV).Dasar hukum dari status badan hukum PT tersebut tercantum di dalam Pasal 1 butir 1 UUPT, sebagai berikut: Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksananya.
Dari ketentuan tersebut secara eksplisit sangat jelas disebutkan bahwa PT merupakan badan hukum. Perseroan merupakan suatu bentuk (legal form) yang didirikan atas fiksi hukum (legal fiction) bahwa perseroan memiliki kapasitas yuridis yang sama dengan yang dimiliki oleh orang perseorangan (natural person).
Apabila dikaitkan dengan unsur-unsur mengenai badan hukum, maka unsur-unsur yang menandai PT sebagai badan hukum adalah bahwa PT mempunyai kekayaan yang terpisah (Pasal 24 ayat (1) UUPT), mempunyai kepentingan sendiri (Pasal 82 UUPT), mempunyai tujuan tertentu (Pasal 12 huruf b UUPT), dan mempunyai organisasi teratur (Pasal 1 butir 2 UUPT). Terkait dengan hal tersebut, Rudhi Prasetyo berpendapat bahwa setidak-tidaknya ada tiga karakteristik yang dominan dan penting di dalam PT, yaitu: (1) pertanggungjawaban yang timbul semata-mata dibebankan kepada harta kekayaan yang terhimpun dalam asosiasi, (2) sifat mobilitas atas hak penyertaan, dan (3) prinsip pengurusan melalui organ.
Karakteristik PT yang pertama tersebut sangat berkaitan dengan status badan hukum PT. Sejak PT berstatus sebagai badan hukum, maka hukum memperlakukan PT sebagai pribadi mandiri yang dapat bertanggung jawab sendiri atas perbuatan PT. Tinggal persoalannya sekarang adalah kapan PT mulai berstatus sebagai badan hukum?
Di dalam Pasal 7 ayat (6) UUPT ditentukan bahwa perseroan memperoleh status badan hukum setelah Akta Pendirian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disahkan oleh Menteri. Pengesahan akta pendirian ini tidak hanya semata-mata sebagai kontrol administrasi atau wujud campur tangan pemerintah terhadap dunia usaha, tetapi juga dalam rangka tugas umum pemerintah untuk menjaga ketertiban dan ketenteraman usaha serta dicegahnya hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan umum dan kesusilaan. Pasal 7 ayat (6) UUPT itu merupakan dasar hukum mulainya status badan hukum PT. Dengan demikian, ini adalah suatu kepastian hukum yang diberikan UUPT bahwasanya PT berstatus sebagai badan hukum sejak setelah akta pendirian PT disahkan oleh Menteri.
Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 7 ayat (6) UUPT tersebut, lalu bagaimana dengan ketentuan Pasal 23 UUPT yang menyatakan bahwa selama pendaftaran dan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 belum dilakukan menyebabkan direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukan perseroan?
Apabila dilihat dalam Penjelasan Pasal 23 UUPT, ketentuan ini merupakan ketentuan yang mengatur tentang sanksi perdata bagi direksi PT, selain ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang Wajib Daftar Perusahaan (UUWDP) dalam hal kewajiban pendaftaran dan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan 22 UUPT tidak dipenuhi. Adapun secara lengkap Pasal 21 dan 22 UUPT tersebut adalah:
• Pasal 21 UUPT:
(1) Direksi perseroan wajib mendaftarkan dalam daftar perusahaan:
• Akta Pendirian beserta surat pengesahan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 6
• Akta perubahan Anggaran Dasar beserta surat persetujuan Menteri sebagaimana Pasal 15 ayat
• Akta perubahan Anggaran Dasar beserta laporan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3).
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah pengesahan atau persetujuan yang diberikan atau setelah tanggal penerimaan laporan.
• Pasal 22 UUPT:
(1) Perseroan yang telah didaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia
(2) Permohonan pengumuman perseroan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan Direksi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pendaftaran
(3) Tata cara pengajuan permohonan pengumuman dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kewajiban pendaftaran PT ini merupakan amanat dari UUWDP yang mengatur kewajiban pendaftaran perusahaan di Indonesia. Di dalam Pasal 5 UUWDP ditentukan bahwa:
Setiap perusahaan wajib didaftarkan dalam Daftar Perusahaan
Pendaftaran wajib dilakukan oleh pemilik atau pengurus perusahaan yang bersangkutan atau dapat diwakilkan kepada orang lain dengan memberikan surat kuasa yang sah
Apabila perusahaan dimilki oleh beberapa orang, pemilik berkewajiban untuk melakukan pendaftaran. Apabila salah seorang daripada mereka telah memenuhi kewajibannya, yang lain dibebaskan dari kewajiban tersebut
Apabila pemilik dan atau pengurus dari suatu perusahaan yang berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia tidak bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia, pengurus atau kuasa yang ditugaskan memegang pimpinan perusahaan berkewajiban untuk mendaftarkan.
Adapun sanksi pidana bagi direksi atas kelalaian mendaftarkan PT itu diatur dalam Pasal 32 UUWDP berikut ini:
Barang siapa yang menurut undang-undang ini dan atau peraturan pelaksanaannya diwajibkan mendaftarkan perusahaannya dalam Daftar Perusahaan yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya tidak memenuhi kewajibannya diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp3.000.000; (tiga juta rupiah)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini merupakan kejahatan.
Apabila ditinjau dari Risalah Pembahasan RUUPT 1995, perseroan yang didaftarkan dalam daftar perusahaan adalah perseroan yang telah berstatus sebagai badan hukum. Setelah dilakukan pengesahan akta pendirian perseroan oleh Menteri, maka perseroan dapat beroperasi secara penuh sebagai badan hukum, tidak perlu menunggu sampai terbitnya Berita Negara.
Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 21 UUPT dan Pasal 5 UUWDP di atas, direksi PT tidak boleh bertindak semaunya, bahwasanya dengan pengesahan akta pendirian perseroan oleh Menteri maka memang bagi pemegang saham pertanggungjawabannya sudah menjadi terbatas, tetapi tanggung jawab direksi masih mensyaratkan adanya pendaftaran perseroan ke dalam Daftar Perusahaan dalam jangka waktu 30 hari.
Dengan demikian, perlu dibedakan antara terbatasnya tanggung jawab pemegang saham yang memang ditandai oleh lahirnya badan hukum perseroan, dengan tanggung jawab direksi untuk mendaftarkan dan mengumumkan perseroan dalam daftar perusahaan walaupun status badan hukum perseroan sudah diperoleh. Oleh karena itu, pendaftaran dan pengumuman perseroan ini tentu tidak mempengaruhi keabsahan dari kelahiran perseroan sebagai badan hukum. Status Badan hukum itu secara konstitutif timbul setelah akta pendirian perseroan disahkan Menteri, sementara pendaftaran dan pengumuman perseroan itu hanya sebagai wadah publikasi supaya dapat dilihat oleh masyarakat umum, bukan sebagai syarat tambahan untuk kelahiran status badan hukum perseroan. Hakikat dari pengumuman itu sendiri sebenarnya dalam rangka sarana publikasi dan pemenuhan aspek transparansi PT kepada pihak ketiga, bahwasanya telah didirikan PT yang bersangkutan dengan status sebagai suatu badan hukum. Dengan pengumuman ini diharapkan pihak ketiga mengetahui eksistensi PT beserta status hukumnya. Oleh karena itu, pengumuman PT pada dasarnya dimaksudkan untuk menjaga agar khalayak tidak dirugikan.
Dengan demikian jelas kiranya bahwa PT memperoleh status badan hukum adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (6) UUPT, yaitu setelah akta pendirian PT disahkan oleh Menteri. Pasal 23 UUPT itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap status badan hukum PT yang sudah diperoleh, itu hanya berpengaruh pada dampak dari tidak didaftarkan dan diumumkannya PT, yaitu dampak kerugian yang mungkin diderita oleh pihak ketiga.
Dengan memperhatikan uraian tersebut jelas kiranya bahwa Pasal 23 UUPT itu sekedar mengatur tentang apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab direksi sehingga Pasal 23 UUPT itu tidak berpengaruh terhadap saat kelahiran dari PT sebagai badan hukum.
C. Implikasi Status Badan Hukum PT
Dengan dimulainya status badan hukum PT, maka ada beberapa implikasi yang timbul terhadap beberapa pihak yang terkait di dalam PT. Implikasi tersebut berlaku terhadap pihak-pihak berikut ini:
1. Pemegang Saham PT
Setelah PT berstatus sebagai badan hukum, sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUPT maka pemegang saham PT tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan serta tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya.
Dengan demikian, pertanggungjawaban pemegang saham dalam PT itu terbatas, pemegang saham dalam PT secara pasti tidak akan memikul kerugian hutang PT lebih dari bagian harta kekayaan yang ditanamkannya dalam PT. Sebaliknya, tanggung jawab dari perusahaan (PT) itu sendiri tidak terbatas, apabila terjadi hutang atau kerugian-kerugian dalam PT, maka hutang atau kerugian itu akan semata-mata dibayar secukupnya dari harta kekayaan yang tersedia dalam PT.
Hal tersebut dikarenakan adanya doktrin corporate separate legal personality yang esensinya bahwa suatu perusahaan, dalam hal ini PT, mempunyai personalitas atau kepribadian yang berbeda dari orang yang menciptakannya. Doktrin dasar PT adalah bahwa perseroan merupakan kesatuan hukum yang terpisah dari subjek hukum pribadi yang menjadi pendiri atau pemegang saham dari perseroan tersebut. Ada suatu tabir (veil) pemisah antara perseroan sebagai suatu legal entity dengan para pemegang saham dari perseroan tersebut.
Doktrin piercing the corporate veil yang notabene merupakan doktrin hukum perseroan di Common Law System itu telah diintegrasikan ke dalam UUPT yang ide dasarnya dituangkan dalam Pasal 3 ayat (2) UUPT. Dalam ketentuan tersebut diketahui bahwa untuk terjadinya piercing the corporate veil dipersyaratkan beberapa hal, sebagai berikut:
a. persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi;
c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan;
d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan. Dari ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUPT itu dapat diketahui bahwa tanggung jawab pemegang saham yang sifatnya terbatas di dalam PT yang sudah berstatus badan hukum itu menjadi tidak berlaku lagi apabila pemegang saham melakukan hal-hal seperti tercantum dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b sampai dengan d seperti tersebut di atas.
2. Pendiri PT
Status badan hukum PT juga berpengaruh terhadap keterbatasan tanggung jawab dari para pendiri PT. Berdasarkan Pasal 11 UUPT, setelah PT berstatus sebagai badan hukum maka ada dua kemungkinan yang akan terjadi terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pendiri PT pada masa sebelum PT disahkan sebagai badan hukum, yaitu: pertama, perbuatan hukum tersebut mengikat PT setelah PT menjadi badan hukum, dengan persyaratan:
1. PT secara tegas menyatakan menerima semua perjanjian yang dibuat oleh pendiri;
2. PT secara tegas menyatakan mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian yang dibuat pendiri walaupun perjanjian tidak dilakukan atas nama PT; atau;
3. PT mengukuhkan secara tertulis semua perbuatan hukum yang dilakukan atas nama PT. Kemungkinan yang kedua, perbuatan hukum tersebut tidak diterima, tidak diambil alih atau tidak dikukuhkan oleh PT, sehingga masing-masing pendiri yang melakukan perbuatan hukum tersebut bertanggung jawab secara pribadi atas segala akibat yang timbul. Kalau kemungkinan kedua ini yang terjadi maka pertanggungjawaban dari pendiri terhadap PT menjadi tanggung jawab pribadi.
3. Direksi PT
Direksi PT menurut ketentuan Pasal 1 butir 4 UUPT adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sebagaimana halnya tanggung jawab terbatas pemegang saham PT, keterbatasan tanggung jawab itu juga berlaku terhadap anggota direksi meskipun tidak secara tegas dinyatakan dalam pasal-pasal UUPT.
Hal tersebut dapat diketahui dari Pasal 85 ayat (2) UUPT yang mengatur bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Dari ketentuan itu secara acontrario dapat diartikan bahwa apabila anggota direksi tidak bersalah dan tidak lalai menjalankan tugasnya, maka berarti direksi tidak bertanggung jawab penuh secara pribadi.
Selama direksi menjalankan tugas dan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab, maka anggota direksi tetap mempunyai tanggung jawab yang terbatas yang merupakan ciri utama dari PT. Sebaliknya, oleh karena menjadi anggota direksi adalah berarti menduduki suatu jabatan, maka orang yang menduduki jabatan itu harus memikul tanggung jawab apabila kemudian tugas dan kewajibannya tersebut dilalaikan atau jika wewenangnya disalahgunakan.
Berkaitan dengan hal tersebut, UUPT sudah mengatur bentuk pertanggungjawaban direksi atas kelalaian ataupun kesalahannya di dalam menjalankan pengurusan PT, yaitu:
a. Pasal 23 UUPT, yang menyatakan bahwa selama pendaftaran dan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan 22 belum dilakukan, maka direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukan perseroan.
b. Pasal 85 ayat (2) UUPT, yang mengatur bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Menurut Pasal 85 ayat (3) UUPT, direksi atas kesalahan atau kelalaiannya menyebabkan kerugian pada perseroan bahkan dapat digugat di Pengadilan Negeri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari seluruh saham dengan hak suara sah.
c. Pasal 90 ayat (2) UUPT, yang menentukan bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian itu, kecuali apabila direksi dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, maka direksi tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng.
4. Komisaris PT
Status badan hukum PT juga berpengaruh terhadap tanggung jawab komisaris PT. Sebagaimana dalam Pasal 97 UUPT, komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasihat kepadadireksi. Sesusi dengan Pasal 100 ayat (1) UUPT, di dalam Anggaran Dasar juga dapat ditentukan tentang pemberian wewenang kepada komisaris untuk memberikan persetujuan atau bantuan kepada direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu.
Selain itu, menurut Pasal 100 ayat (2), berdasarkan Anggaran Dasar atau keputusan RUPS, komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu. Dalam kondisi demikian, maka berlaku semua ketentuan mengenai hak, wewenang dan kewajiban direksi terhadap perseroan dan pihak ketiga. Oleh karena itu, ketentuan mengenai tanggung jawab terbatas direksi PT juga berlaku terhadap komisaris tersebut.
Secara implisit, tanggung jawab komisaris juga terbatas sebagaimana tercantum dalam Pasal 98 ayat (2) UUPT, bahwa atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri terhadap komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan.
X. Kesimpulan
Status badan hukum merupakan salah satu unsur penting dari PT dalam menarik para investor atau penanam modal untuk menjadi pemegang saham PT. Perdebatan tentang kapan dimulainya status badan hukum PT itu kiranya tidak perlu diperpanjang lagi, karena Pasal 7 ayat (6) UUPT sudah memberikan kepastian hukum mengenai kapan status badan hukum itu diperoleh, yaitu setelah akta pendirian PT disahkan oleh Menteri.
Setelah status badan hukum PT diperoleh, maka akan ada implikasi berupa prinsip-prinsip terbatasnya tanggung jawab dari pemegang saham, pendiri, dan direksi sepanjang pihak-pihak tersebut tidak melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melakukan tugas kewajibannya dalam PT.
Dalam badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas, badan usaha ini dikenakan pajak sampai dua kali. Pajak yang pertama adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan atas dividen yang dihasilkan dari transaksi surat berharga dan pajak ini dibayar atau dikenakan kepada pemegang saham. Sedangkan pengenaan pajak yang kedua adalah pengenaan pajak atas laba yang diperoleh atas usaha operasional perusahaan. Pajak ini dinamakan Pajak Penambahan Nilai (PPN).
Langganan:
Postingan (Atom)