Selasa, 08 September 2009

FAKTOR-FAKTOR VERTIKAL SEBAGAI POTENSI KONFLIK MASYARAKAT MAJEMUK

I. PENDAHULUAN

Pluralitas masyarakat Indonesia adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri
karena sudah memiliki akar historis yang panjang. Masyarakat majemuk adalah merupakan masyarakat yang terbagi-bagi kedalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam mana masing-masing sub sistem terikat kedalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial.
Furnivall sendiri sudah mensinyalir bahwa konflik pada masyarakat majemuk Indonesia menemukan sifatnya yang sangat tajam, karena di samping berbeda secara horisontal, kelompok-kelompok itu juga berbeda secara vertikal,
menunjukkan adanya polarisasi. Artinya bahwa disamping terdiferensiasi
secara kelompok etnik agama dan ras juga ada ketimpangan dalam penguasaan
dan pemilikan sarana produksi dan kekayaan. Tetapi, dalam pembahasan ini, penulis hanya menyinggung masalah konflik masyarakat majemuk dari faktor-faktor vertikal. Lebih lanjutnya, akan dibahas pada bagian kedua makalah ini.
Istilah konflik berasal dari bahasa Latin, “Com” yang berarti “bersama” dan “Fligere” yang berarti melanggar, menabrak, menemukan, membentur. Dengan demikian, konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain, karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, “pertikaian” menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu, yang diekspresikan, diingat dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984). Konflik senantiasa berpusat pada beberapa sebab utama: tujuan yang ingin dicapat, alokasi sumber-sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers, 1982:234-237; Kreps, 1986:185;Stewart, 1993:341).
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam, yaitu:
1. konflik antara atau dalam peran social (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi,
2. konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank),
3. konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa), dan
4. konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara).
II. PEMBAHASAN
1. KONFLIK PENGHASILAN
Masalah keuangan dalam keluarga bisa menjadi konflik. Pemicunya tak sekadar penghasilan yang kurang. Perkara asal-usul penghasilan bisa mendatangkan persoalan besar juga.
Pada zaman sekarang ini masalah keuangan dalam keluarga bukan monopoli suami. Dalam satu keluarga, suami-istri sama-sama mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan rumah sudah lumrah. Artinya, suami dan istri bisa sama-sama memiliki penghasilan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, adakalanya penghasilan istri lebih tinggi dari penghasilan suaminya. Persoalannya, benarkah jika penghasilan istri lebih tinggi ketimbang suami akan selalu membuahkan konflik? Sebut saja Diana, 36 tahun, manajer sebuah perusahaan farmasi terkenal di Medan.
Penghasilannya jauh lebih besar dibanding suaminya yang bekerja seprofesi. Mulai dari cicilan rumah, mobil hingga keperluan rumah tangga dibayar oleh Diana. Sedangkan uang suami untuk belanja sehari-hari. "Hampir semua kebutuhan rumah tangga, pakai uang saya, makanya saya nggak punya tabungan. Tapi harus bagaimana lagi, karena mengharapkan gaji suami tidak cukup,'' ungkapnya.
Kalau mengikuti kata hati, begitu perempuan lulusan S2 Farmasi ini melanjutkan komentarnya, ia mengaku sangat kesal dengan keadaan ini. ''Bayangkan saja, saya berangkat kantor jam enam pagi, menyetir sendiri, pulang jam sembilan malam. Tapi gaji saya habis untuk kebutuhan di rumah. Kalau bukan karena keimanan, saya mungkin sudah tidak kuat dengan kondisi rumah tangga seperti ini,'' papar Diana yang sudah menikah selama lima tahun.
Diana cuma sekadar mengomel. Pada beberapa kasus sering kita temukan, suami-isteri bercerai hanya karena isteri merasa jadi 'sapi perah' akibat gaji sang suami lebih kecil.
Menurut Henny E Wirawan, seorang psikolog dari Universitas Tarumanegara, karier dan penghasilan istri yang lebih besar seharusnya tidak menjadi sebuah masalah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pasangan suami istri agar tidak menuai konflik saat hal itu terjadi.
Menurut Henny E Wirawan, seorang psikolog dari Universitas Tarumanegara, karier dan penghasilan istri yang lebih besar seharusnya tidak menjadi sebuah masalah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pasangan suami istri agar tidak menuai konflik saat hal itu terjadi, yaitu:
Pertama, ubah pola pikir. Selama ini pola pikir dalam masyarakat cenderung menempatkan wanita dalam wilayah domestik yang bertanggung jawab terhadap urusan pengasuhan anak dan dapur. Sementara lelaki berperan sebagai pencari nafkah dan tulang punggung keluarga. Nah, konflik akan muncul bila yang terjadi justru sebaliknya.
Oleh sebab itu, suami jangan langsung merasa tertekan saat mengetahui istrinya membawa lebih banyak uang ke rumah. Sebaliknya, syukuri keadaan ini sebagai sebuah berkah. Sebab, pemasukan yang lebih besar berarti kualitas hidup pun jadi lebih baik.
Kedua, pandai menempatkan diri. Pengertian yang dicapai akan membuat segalanya lebih mudah. Selain itu, suami-istri harus bisa menempatkan dirinya dengan baik. Semisal, di luar rumah istri berprofesi sebagai seorang Direktur. Tapi, ketika kembali ke rumah ia harus ingat perannya sebagai seorang istri. "Ini yang seringkali terlupakan. Seorang istri jangan sampai membawa kebiasaannya di kantor ke rumah. Ketika kembali ke rumah, ia harus kembali pula pada perannya sebagai pendamping suami," ungkap Henny.
Ketiga, berbagi tanggung jawab. Karier istri semakin cemerlang dengan promosi yang baru didapatkannya tahun ini. Ini juga berarti tuntutan tanggung jawab yang lebih besar di kantornya. Konsekuensinya, waktu untuk keluarga pun jadi berkurang. Lalu, siapa yang bertugas mengurus rumah dan anak-anak? Untuk masalah satu ini, pasangan suami-istri harus memutuskannya berdasarkan apa yang terbaik untuk anak-anak. Lupakan dulu ego masing-masing!
Hilangkan pemikiran bahwa tinggal di rumah sama dengan tidak bekerja. "Hilangkan konsep masa lalu bahwa stay at home berarti tidak melakukan apa-apa. Jangan pernah menganggap remeh pekerjaan rumah tangga. Sebab itu adalah pekerjaan yang sangat berat, semuanya dilakukan sejak matahari terbit hingga tenggelam. Pekerjaan rumah tangga itu sangat bernilai tinggi. Tak ada salahnya dengan menjadi bapak rumah tangga, kok." ujar Henny.
Keempat, pengaturan finansial. Saat posisi pekerjaan berada dalam satu level, pengaturan masalah keuangan mungkin tak ada masalah. Tapi, kadangkala konflik muncul ketika gaji istri lebih besar. Tak jarang istri yang merasa penghasilannya lebih besar merasa punya kuasa lebih dalam mengatur keuangan. Nah, hal inilah yang biasanya membuat suami mudah tersinggung.
Untuk mengatasi masalah ini, Henny menyarankan agar masing-masing pasangan membuat pengaturan finansial yang lebih fleksibel. Artinya, aturan ini merupakan hasil kesepakatan bersama. Misalnya, penghasilan keduanya disatukan baru kemudian dibagi sesuai dengan pos-pos pengeluaran yang telah ditentukan.
Kelima, abaikan saja. Karier istri yang lebih cemerlang dari suami, tak jarang menimbulkan suara sumbang dari lingkungan. Lingkungan di sini bisa berarti lingkungan keluarga maupun lingkungan pekerjaan. Apalagi bila suami ternyata lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah.
Di mata Konsultan Perencanaan Keuangan, Safir Senduk, tidak ada masalah jika penghasilan suami lebih rendah dari istri. Justru mereka bisa saling membantu meringankan biaya rumah tangga. Para suami jangan minder, sebaliknya para istri pun jangan mentang-mentang. Semuanya “low profile” saja. Karena kalau istri mulai semena-mena, sikap itu salah dan bisa menjadi masalah.
''Ingat, status kaya atau tidaknya seseorang tidak ditentukan oleh penghasilan, gaji atau kekayaan. Tapi bagaimana mereka bisa menyimpan (menabung) dari penghasilannya,'' kata penulis buku Seri Perencanaan Keuangan Keluarga ini.

2. KONFLIK PENDIDIKAN
Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.
Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multikultural diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik. Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan.
Dengan perintisan model pengajaran multikultural yang dikembangkan oleh Pusat kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, diharapkan siswa akan lebih mengetahui pluralitas dan menghargai keberagaman tersebut.
Hapus Diskriminasi. Sikap menghargai keberagaman, juga harus ditanamkan di sekolah. Sebenarnya, sekolah adalah tempat menghapuskan berbagai jenis prasangka yang bertujuan membuat siswa terkotak-kotak. Sekolah harus bebas diskriminasi.
Untuk menghindari konflik seperti kasus yang pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, sudah saatnya dicarikan solusi preventif yang tepat dan efektif. Salah satunya adalah melalui pendidikan multikultural.
Pada model pendidikan ini, pengenalan dan sosialisasi program pengembangan model pendidikan multikultural dapat dilakukan dengan menggunakan film semi dokumenter. Mengapa? Karena pembelajaran ini menawarkan metodologi dan pendekatan yang berbeda dari model-model pembelajaran konvensional yang selama ini dicekoki ke siswa.
Beberapa pencapaian indikator pembelajaran. Di antaranya, adanya pemahaman dan afeksi siswa tentang nilai-nilai multikultural yang dikembangkan. Misalnya; toleransi, solidaritas, musyawarah, dan pengungkapan diri.
Selain itu, melalui model pembelajaran berbasis multikultural, siswa diperkenalkan dan diajak mengembangkan nilai-nilai dan sikap toleransi, solidaritas, empati, musyawarah, dan egaliter. Dan ini bisa menghambat terjadinya konflik.
Model pembelajaran multikultural ini bisa berhasil, jika kepala sekolah mendukung program ini. Selain itu, para pengajar juga mau menerima pembaruan dan sekolah sudah terbiasa mengembangkan kurikulum sendiri di samping kurikulum dari Departemen Pendidikan Nasional. Sementara, alat lain yang mendukung adalah adanya audio-visual karena ini menjadi penting untuk menyaksikan film-film bertema multikultural.

3. KONFLIK PEMUKIMAN
Menilik kasus-kasus konflik etnis di Kalimantan Barat, ini bukanlah kasus perselisihan warga berbuah kekerasan komunal etnis yang pertama. Jika melihat kebelakang kasus-kasus konflik etnis di Kalbar, kita akan melihat pola kasus etnis yang serupa dan berulang. Meskipun dengan variasi keterlibatan etnis yang berbeda. Tercatat misalnya pada masa Hindia-Belanda ada beberapa kasus konflik yang melibatkan etnis Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Kemudian pada masa setelah kemerdekaan pada tahun 1950’an yang melibatkan etnis Tionghoa dan Melayu. Dan puncaknya memang kasus konflik etnis tahun 1997-1999 yang melibatkan etnis Madura, Melayu, dan Dayak. Konflik etnis yang menelan jiwa hingga ribuan nyawa melayang dan jutaan orang kehilangan tempat tinggal dan hartanya. Sedikit banyak fakta ini menunjukkan bahwa Kalbar memang rawan terhadap potensi-potensi konflik yang bersifat keetnisan.
Dalam konteks Kalbar, pemerintah menganggap konflik telah selesai ketika para pengungsi akibat konflik telah dipindah lokasi pemukiman baru Tebang Kacang. Mereka tidak melihat bahwa perasaan-perasaan curiga, stereotype, dan prasangka antara etnis masih berkembang ditingkat masyarakat Kalbar. Masih adanya penolakan oleh kelompok etnis tertentu kepada kelompok etnis yang lain di Kalbar untuk kembali ke asalnya hingga kini masih terjadi. Permasalahan-permasalahan kejelasan hak para pengungsi dan korban konflik etnis, terutama bagi etnis yang kalah, hingga kini masih buram. Pemerintah daerah tidak mau secara terbuka membicarakan kasus-kasus tersebut secara terbuka. Dilain sisi muncul dugaan bahwa pemerintah daerah mencoba untuk membatasi ruang dialog antar etnis pada isu-isu tertentu karena alasan sensitivitas isu yang ditakutkan akan menganggu stabilitas keamanan.
Salah satu dampak yang timbul ditingkat publik adalah adanya penolakan-penolakan dan keengganan sebagian masyarakat di Kalbar untuk membicarakan isu-isu etnis secara terbuka untuk mencari penyelesaiannya. Atau misalnya penolakan masyarakat Melayu di Sambas yang hingga kini menolak kembalinya masyarakat Madura di wilayah Sambas. Oleh pemerintah sendiri kasus konflik antar sukubangsa ini dinyatakan telah selesai dengan dipindahkannya para pengungsi ke tempat pemukiman baru (Tebang Kacang). Namun, permasalahannya tidak sesederhana itu. Banyak persoalan dilapangan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Seperti misalnya bagaimana hak-hak milik para pengungsi di daerah asal (Sambas) yang telah ditinggalkan dan pemulihan kehidupan mereka dilokasi pengungsian yang menurut mereka lebih menyerupai lokasi pengucilan dari kelompok masyarakat lainnya.
Salah satu kunci membina perdamaian yang berkesinambungan adalah bagaimana membangun kepercayaan yang ada ditingkat grassroot. Dengan membangun kepercayaan yang ada ditingkat grassroot, permasalahan-permasalahan sepele akan dapat segera diselesaikan ditingkat lokal tanpa melibatkan pihak yang diatasnya, masyarakat dapat segera mandiri dapat menyelesaikan konfliknya dengan cara-cara yang tentu saja menjadi kesepakatan umum dan hukum. Kemandirian warga dalam menyelesaikan konfliknya tak lepas dari seberapa berdayanya kekuatan institusi-institusi lokal yang ada di masyarakat lokal dan aliran hukum dapat berfungsi dengan baik.
Membina kepercayaan ditingkat grassroot bukanlah pekerjaan yang mudah, harus mesti dimulai dari hal-hal atau kegiatan yang sederhana, namun dapat menjangkau kelompok etnis yang bersangkutan. Disinilah sesungguhnya harapan yang besar kepada pemerintah untuk bekerja bersama dengan berbagai komponen masyarakat dalam menyelesaikan agenda-agenda perdamaian. Penuntasan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sempat tertunda adalah salah satu upaya untuk memperkuat kepercayaan masyarakat atas niat baik pemerintah pusat untuk mambantu menyelesaikan konflik komunal secara tuntas.
Langkah berikutnya adalah dengan bagaimana visi menjaga perdamaian agar dapat berkesinambungan menjadi mainstream program pembangunan di Kalbar, yang diterjemahkan dalam kebijakan dan operasional program yang sifatnya integrative dan komprehensif. Harus ada ukuran-ukuran yang jelas dan kompeten untuk menunjukkan perdamaian di Kalbar. Sampai dalam tahapan mana perubahan-perubahan telah terjadi. Seperti apa yang disarankan oleh John Paul Lederach(2003) dalam konsepnya tentang Transformasi Konflik (Conflict Transformation) dimana setiap proses untuk mencapai perdamaian yang berkesinambungan sebaiknya dapat menyentuh 4 dimensi perubahan yang signifikan, yaitu dimensi perubahan yang ada tingkat personal, relasional, struktural, dan yang paling ideasional adalah tingkatan kultural, atau perubahan yang ada ditingkat pengetahuan budaya yang menjadi acuan bagi kelompok dalam bertindak.
Jadi, tidak mudah memang karena tidak ada jalan singkat dan instant untuk membangun perdamaian. Perlu kesabaran dan upaya terus-menerus dari kesemua pihak. Semoga insiden Pontianak baru-baru ini menyadarkan kita kembali bahwa perjalanan kita untuk mencapai perdamaian yang berkesinambungan masih jauh dari akhir.
4. KONFLIK PEKERJAAN
Ketika rasa frustasi yang berat membayangi kita, kualitas pekerjaan kita dan keakraban hubungan kita dengan orang lain akan terpengaruh. Kesehatan kita secara fisik maupun emosional juga dapat terganggu. Mungkin kita akan berhenti berolahraga atau menarik diri dari teman-teman dan gereja pada saat kita merasa semakin frustasi atau tertimpa kesedihan. Kerinduan saya karena saya juga pernah mengalaminya adalah memberi wawasan dan pengharapan bagi Anda yang mengalami konflik seperti ini.
Saya ingin Anda tahu bahwa penyelesaian akan masalah pekerjaan ini berkisar pada beberapa hal penting di bawah ini:
- Identifikasi masalah (Apakah ini masalahku atau masalah mereka?),
- Segera menghadapi masalah (Kalau tidak, masalah itu akan semakin
buruk),
- Mengandalkan Allah,
- Tanggung Jawab (Belajar bersikap terbuka, jujur, dan tekun berdoa
bersama orang lain), dan
- Antisipasi (Mengharapkan Allah menolong dan mengarahkan Anda dalam
setiap situasi).
Kita biasanya menganggap bahwa konflik disebabkan oleh seseorang atau sesuatu di luar diri kita. Namun, sering kali kita juga frustasi karena konflik-konflik internal. Sebagai contoh, kita ambil kisah Luke.
Eksternal. Luke mempunyai masalah dalam hubungan dengan rekan sekerja dan bosnya. Saya harus menentukan apakah memang mereka yang salah atau apakah Luke memiliki kelemahan tak disadari yang turut memicu masalah. Kami menemukan kesalahan pada kedua pihak. Luke memiliki beberapa kebiasaan yang sangat menjengkelkan, dan bosnya perlu "pencangkokan kepribadian"! Konflik berkepanjangan dengan orang lain merupakan sumber utama konflik eksternal.
Internal. Luke tidak sanggup memutuskan meninggalkan pekerjaannya. Jadi, ia tetap mendua hati, berada di antara dua pilihan: rasa aman (disertai kebosanan) dan risiko (disertai kegairahan). Kondisi ini merupakan sumber konflik yang sangat besar, dan sikapnya terus memburuk selama beberapa tahun ini. Luke telah membuat komitmen untuk mengikuti Kristus dan hidup sebagai orang Kristen sejak kecil, namun secara perlahan ia menjadi orang Kristen "Minggu-an". Ia merasa terpisah dari Allah karena ia juga semakin dalam terlibat perselingkuhan dengan seorang rekan kerjanya yang sudah menikah, dan ini menambah kekacauan yang sudah ada.
Dalam hidup ini, saya terbiasa menggunakan reaksi "sentakan lutut" (terlalu cepat bereaksi) dan pendekatan "kepala di dalam pasir" (bersembunyi dari masalah) untuk memecahkan konflik dalam pekerjaan. Berharap bahwa jika Anda mengabaikan masalah maka masalah itu akan berlalu adalah hal yang mudah. Reaksi manusiawi semacam ini jarang berhasil. Jarang sekali masalah lenyap dengan sendirinya. Dan, Anda juga tidak dapat mengandalkan orang lain untuk memecahkan masalah Anda. Ketegangan Luke mulai mencair ketika ia menyadari bahwa dirinya bukanlah korban. Selama itu ia justru telah memusatkan diri pada banyak hal yang ia anggap merupakan kesalahan atau tanggung jawab orang lain. Ketika ia mampu menyadari bahwa dirinya punya masalah dalam berkomunikasi dan mulai mengambil langkah-langkah perubahan, ia terkejut menemukan orang lain tiba-tiba lebih mudah bekerja sama dengan dirinya. Tidak, ia tidak dapat menjadi sahabat terbaik untuk bosnya yang sulit itu. Namun, ia mampu menjalin hubungan kerja yang tulus dalam sisa waktunya bekerja di tempat tersebut.
Kita bukanlah pion yang dapat dimanfaatkan oleh situasi atau orang lain. Ada sesuatu yang dapat Anda lakukan untuk memperbaiki situasi kerja Anda yang buruk, meskipun Anda bukan penyebabnya. Dan, sebagai orang Kristen, saya dapat meyakinkan Anda bahwa Allah menghargai orang-orang yang mencari Dia dan menantikan pertolongan-Nya dalam setiap situasi, juga orang-orang yang bersedia melakukan tugas yang harus dikerjakan karena adanya perubahan.
Banyak di antara kita berada dalam jurang penderitaan. Kita terpaksa bertahan dalam konflik karena perubahan terlalu berisiko. Keluar dari jurang itu membutuhkan penyelesaian konflik dan peralihan ke tahap pertumbuhan berikutnya. Itu artinya melepaskan cara berpikir dan bertindak yang lama, dan bertanggung jawab atas kedewasaan diri dan kebutuhan kerja kita.
Saya tidak akan mengatakan bahwa satu jawaban "cocok untuk semuanya". Itu mustahil karena Allah merancang kita secara unik dan kita memiliki pola alamiah yang berbeda dalam menangani konflik, perubahan dan komunikasi. Intinya adalah mempelajari keterampilan baru yang Anda perlukan untuk menolong diri Anda membuat perubahan yang tepat dalam hidup Anda.

5. KONFLIK KEDUDUKAN SOSIO-POLITIK
Secara kuantitatif, Etnik Cina merupakan minoritas di tengah kemajemukan etnik Indonesia . Dari segi tempat tinggal mereka, ada perbedaan pola sebaran antar berbagai pulau di Indonesia . Khusus untuk Jawa dan Madura, persentase terbesar (78,4%) bertempat tinggal di wilayah perkotaan, sedangkan sisanya (21,6%) bertempat tinggal di pedesaan (Coppel, 1983:7). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar Etnik Cina di Jawa dan Madura berkegiatan ekonomi pada sektor perdagangan dan industri perkotaan.
Walaupun demikian, secara kualitatif, persoalan yang dianggap telah ditimbulkan oleh keberadaan Etnik Cina ini tidak bisa disebut kecil. Walaupun telah dikecam karena tidak didasarkan pada temuan penelitian empirik (Wibowo, 2000:XV), beredar pendapat bahwa minoritas Etnik Cina di Indonesia telah menguasai 70 sampai 80 persen perekonomian Indonesia . Begitu dianggap penting persoalan Etnik Cina di Indonesia, sehingga memunculkan suatu isu khusus, yaitu: “Masalah Cina”.
“Masalah Cina” merupakan isu yang hangat dibicarakan dalam masyarakat Indonesia , dan tanpa bisa dihindari, persoalan ini memunculkan sejumlah pertanyaan. Apakah Cina Indonesia harus mempertahankan jati diri kebudayaan mereka sendiri atau harus berintegrasi atau berasimilasi ke dalam kebudayaan Indonesia .
Adanya beberapa bentuk pola hubungan antar etnik. Menurut Persell (1990:235-238), secara teoretik, antagonisme etnik akan mengakibatkan salah satu dari enam jenis hubungan terpola. Masing-masing adalah: asimilasi, pluralisme, perlindungan hukum minoritas, eksklusif atau perpindahan penduduk, penaklukan, atau genocide .
Antagonisme etnik sendiri, dihipotesiskan akan terjadi bila ada sejumlah prasyarat, yaitu:
(1) adanya dua kelompok etnik yang berbeda,
(2) adanya perbedaan praktek budaya dan ciri-ciri fisik kelompok yang bisa dikenali,
(3) adanya persaingan antar kedua kelompok untuk mendapatkan barang-barang atau sumber-sumber yang terbatas, dan
(4) adanya ketimpangan distribusi kekuasaan dan sumberdaya pada kedua kelompok yang bersaing.
Terlepas dari apakah keempat kondisi prasyarat tersebut semuanya terpenuhi atau tidak, kerusuhan antar etnik termasuk terhadap Etnik Cina di Indonesia seolah-olah terus mengikuti dinamika sejarah Indonesia .
Tidak bisa disangkal bahwa kajian tentang etnik Cina di Indonesia sudah banyak dilakukan. Bahkan tak sedikit dari kajian itu yang diterbitkan. Ini menunjukkan bahwa fenomena etnik Cina di Indonesia telah merangsang begitu banyak kajian, baik kajian lapangan maupun kepustakaan. Sementara itu, usaha untuk menentukan letak Etnik Cina dalam masyarakat Jawa selama abad ke dua puluh, dilakukan oleh Rush (1991). Kajian sejarah ini menggunakan sejumlah bahan dokumenter yang relevan untuk mencermati bagaimana para tokoh masyarakat Etnik Cina memerankan diri dalam perubahan-perubahan besar di Jawa. Seperti melanjutkan kajian ini, secara lintas disiplin Witanto (2000) memadukan pendekatan analisis ruang dan perkembangan sejarah masyarakat Cina dan posisi mereka dalam masyarakat Indonesia. Salah satu faktor mendorong munculnya konflik dan kekerasan tersebut adalah morfologi fisik pemukiman. Pola pemukiman yang berubah menjadi model sosio ekonomi yang eksklusif telah menumbuhkan citra negatif sebuah kelompok bermodal. Di lain pihak, kondisi perkotaan yang semakin parah telah memberikan tekanan tersendiri bagi warga kota secara umum. Akibatnya, sentimen etnik terhadap kelompok bermodal yang selama ini tersembunyi, menjadi mengemuka karena kelompok bermodal dianggap tidak terkena dampak krisis ekonomi.
Adanya dua kecenderungan penjelasan terhadap kedudukan Etnik Cina dalam kehidupan ekonomi Indonesia, yaitu:
(1) pendekatan struktural dan kelas, dalam kaitannya dengan penguasa Orba dan militer, dan
(2) pendekatan etnik dan kultural yang memberikan penekanan pada keunggulan motivasi dan ketrampilan usaha Etnik Cina.
Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Walaupun diakui, tidak cukup mewakili, karena hanya mengkaji dua kasus individu seperti Oei Tiong Ham dan Liem Sioe Liong. Mely G. Tan (1991) juga mengemukakan bahwa minat kajian terhadap dimensi sosial dan kultural Etnik Cina juga mendapatkan cukup perhatian. Ini terjadi karena selama Orba , Indonesia menerapkan serangkaian kebijakan untuk meningkatkan pembauran.
Dari sebelas faktor yang berpengaruh terhadap interaksi Cina dan Pribumi, dipadatkan oleh Musianto (1997) menjadi enam faktor, yaitu: nenek moyang atau keturunan, kepribadian atau mentalitas, pendidikan, status, sosial ekonomi dan keagamaan.
Terakhir, ada dua kajian yang menganalisis kasus-kasus kekerasan dan kerusuhan terhadap Etnik Cina. Pertama , karya Abdul Baqir Zein (2000) yang melakukan rekonstruksi dan analisis dampak kerusuhan berdasar sejumlah berita dan pendapat banyak orang sebagaimana dimuat dalam surat kabar dan majalah. Kedua , analisis terhadap kasus kerusuhan 13-15 Mei 1998 oleh Pattiradjawane (2000:213). Kasus yang oleh penulisnya disebut sebagai titik terendah sejarah orang Etnik Cina di Indonesia ini, ternyata masih menimbulkan silang pendapat. Ada yang berpendapat bahwa kerusuhan tersebut tidak memiliki kaitan langsung dengan gerakan anti Cina. Di sisi lain, ada yang meragukan bahwa kerusuhan tersebut sama sekali tidak mengandung sentimen rasial. Sebab, walaupun tidak ada fakta yang independen mengenai apa yang menimpa orang-orang keturunan Cina, banyaknya orang keturunan Cina yang dijadikan sasaran perusakan, pembakaran, penjarahan dan perkosaan, cukup menjadi bukti adanya suatu bentuk diskriminasi rasial untuk menjadikan orang-orang keturunan Cina traumatik. Dalam kerusuhan itu, seseorang diperkosa bukan karena dia perempuan, tapi karena dia adalah orang keturunan Cina.
Telah dikemukakan, bahwa bagian terbesar Etnik Cina, khususnya di Jawa dan Madura, tinggal di wilayah perkotaan. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah ketegangan sosial yang melibatkan etnik keturunan Cina hanya terjadi di perkotaan? Bagaimana dampak sosialnya bila persaingan ekonomi yang melibatkan etnik keturunan cina berlangsung di pedesaan? Bagaimana pula pola hubungan antara etnik keturunan Cina Etnik Jawa di pedesaan?
Kalau setiap pertikaian selalu melibatkan persaingan, maka tidak semua kasus persaingan melibatkan pertikaian. Walaupun tidak jarang diliputi oleh ketegangan sosial, pola interaksi persaingan memberikan kecakapan khususnya dalam meningkatkan daya saing. Daya saing ini dicapai melaluli peningkatan efisiensi, produktivitas, dan kualitas produk pertanian yang mereka hasilkan.
Dinamika hubungan antar etnik ini dipandang menyerupai model dialektika Simmel, karena setiap pola hubungan baru merupakan akibat dialektika interaksi satu pihak dengan pihak lain. Dialektika itu sendiri, membentuk pola hubungan yang berubah dari pola penguasaan, menjadi kerjasama, persaingan, dan akhirnya pertikaian. Sekaligus tampak pula, bahwa hubungan antar etnik memiliki akibat lebih fungsional bila berlangsung mengikuti pola kerjasama dan persaingan. Sedangkan pola hubungan penguasaan dan persaingan cenderung disfungsional terhadap sistem sosial ekonomi. Akan halnya kepentingan sejati di balik konflik agama dan etnik, sebenarnya mengikuti pemikiran Marxian, yaitu: materi.
Dalam rangka mengurangi konflik yang terus terjadi antara etnis Cina dan lainnya diperlukan kebijakan Negara yang lebih melindungi warga minoritas. Walaupun telah banyak berbagai macam kebijakan politik dan hukum, namun kenyataannya konflik ini terus terjadi. Situasi yang demikian akan mengurangi minat kelompok etnis Cina untuk melakukan kegiatan bisnis, padahal mereka merupakan potensi yang selama ini belum bisa diganti. Disamping itu, apapun yang terjadi pada kelompok minoritas Cina di Indonesia, pemerintah RRC tidak akan tinggal diam dan hal ini sangat mengancam stabilitas Negara Indonesia yang sudah sangat terpuruk ini.

III. PENUTUP
Negara-bangsa yang majemuk memang akan dihadapkan pada instabilitas, bahkan kecenderungan disintegrasi, tetapi bila perbedaan vertikal itu sekaligus
pula diikuti dengan akses, kontrol, dan distribusi sumber daya ekonomi yang
timpang serta sektor politik yang tidak partisipatif bagi semua kelompok.
Dalam situasi yang senjang secara ekonomi dan politik bisa saja orang-orang
yang melihat jalan kehidupannya relatif tertutup, untuk meraih kedudukan
yang diinginkan mereka berusaha mengerahkan kelompoknya. Untuk keperluan
mobilisasi tersebut mereka cenderung memanfaatkan loyalitas tradisionalnya,
yaitu melalui ikatan primordialnya.
Demikian pula, kelompok yang diuntungkan oleh situasi yang timpang berupaya mengerahkan loyalitas tradisionalnya untuk mempertahankan kedudukan mereka. Namun demikian, potensi konflik itu tidak akan manifes bila prasyarat-prasyarat tertentu dipenuhi.
Pertama, negara Indonesia demokratis, yang artinya semua kelompok etnik, agama, ras, mayoritas maupun minoritas memiliki perwakilan dalam institusi politik yang bisa menyalurkan aspirasi dan kepentingan mereka.
Kedua, hubungan-hubungan di antara kelompok-kelompok yang berbeda tersebut dikendalikan melalui prinsip-prinsip hukum yang obyektif. Dengan perkataan lain, tegaknya supremasi hukum dan hukum tidak memihak pada kelompok tertentu, tetapi mengatasi semua kelompok tanpa kecuali.
Ketiga, adanya distribusi pendapatan yang relatif merata antar kelompok,
artinya ketimpangan sosial-ekonomi tidak begitu senjang antar kelompok dan
daerah.
Masyarakat Belgia, Swiss, dan Kanada termasuk dalam kategori masyarakat majemuk, tetapi heterogenitas masyarakat ini tidak menjadi persoalan besar dalam proses integrasi nasional. Tidak terjadi konflik terbuka antar kelompok masyarakat dan negara selalu dalam keadaan stabil. Itu
dimungkinkan karena, di ketiga negara bersangkutan sistem demokrasi,
supremasi hukum, dan distribusi pendapatan yang relatif merata berjalan
dengan baik. Mungkin kita bisa belajar kepada mereka, bagaimana mengelola
masyarakat majemuk dengan tetap menjaga kemajemukan itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.mail-archive.com/i-kan-konsel@xc.org/msg00005.html

http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=3197

http://prasetijo.wordpress.com/2007/12/09/mencermati-kasus-konflik-etnis-di-kalimantan-barat-tantangan-untuk-mempertahankan-perdamaian-berkesinambungan/

http://elka.umm.ac.id/artikel6.htm

http://www.i-comers.com/family-relationships-articles/6415-ketika-penghasilan-isteri-lebih-besar.html

5 komentar: